Salin Artikel

Senjakala Kepakaran dan Demokrasi Kita

Buku tersebut membahas tentang fenomena "backlash" dan pembalikan arah perilaku pemilih Amerika di pemilihan umum 2016 lalu, yang memenangkan Donald Trump di satu sisi dan perubahan sistematis dalam cara pandang publik Amerika terhadap mekanisme meritokrasi yang terjadi di dunia pendidikan di sisi lain.

Komoditifikasi pendidikan yang berlebihan pada sistem pendidikan Amerika, di mana sistem sumbangan sangat menentukan dalam proses rekruitmen mahasiswa pada perguruan tinggi kelas atas, mulai dari Yale University sampai Harvard University (Ivy League), memicu cara pandang sinis kepada lulusan-lulusan perguruan tinggi terbaik Amerika tersebut sekaligus kepada para intelektual terkait dengan institusi pendidikan yang ada di Amerika.

Sinisme tersebut terkait langsung dengan kondisi ketimpangan ekonomi yang sudah berlangsung lama di negeri Paman Sam, di mana salah satu sebabnya dipandang berasal dari disfungsionalitas para pakar dan intelektual.

Semakin kaya seseorang, semakin besar peluangnya mendapatkan pendidikan bagus, yang kemudian semakin memperbesar kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan di sektor-sektor andalan di Amerika, mulai dari perusahaan-perusahaan bonafid di Wall Street, sampai pada perusahaan farmasi kelas kakap atau Think tank berkaliber internasional.

Latar ketimpangan ekonomi yang membentuk sistem meritokrasi di Amerika itu kemudian berimbas pada cara pandang publik kepada para pakar dan ahli.

Para pakar dan ahli dipandang sebagai bagian dari sistem korup yang dikuasai oleh oligarki dan elite-elite ekonomi politik yang bercokol di Wall Street dan Gedung Putih. Sistem rekruitmennya dinilai tidak berbeda dengan sistem rekruitmen elitis dunia perguruan tinggi kenamaan di negeri Paman Sam itu.

Fenemena memudarnya peran kepakaran ini bertemu dengan era digital, di mana publik akhirnya semakin mendapatkan tempat untuk mengekspresikan aspirasinya secara tak berbatas di dunia baru (dunia maya) sekaligus bertumbuhnya banyak sumber informasi alternatif yang tidak lagi bergantung kepada kehadiran para pakar.

Sementara itu, sayangnya para pakar dan ahli semakin hari semakin kurang sensitif dalam menghormati eksistensi sisi non rasional dari masyarakat, seperti adanya rasa cinta, favoritisme, fanatisme, kebencian, keberuntungan, dan sejenisnya.

Walhasil, tahun 2016, “kepongahan” para intelektual pendukung Hillary Clinton, yang kerap menyajikan data, fakta, dan rasionalitas kelas elitis selama masa kampanye, lalu melabeli para pendukung Donald Trump dengan label bodoh, akhirnya gagal memahami realitas emosional pemilih Amerika.

Cara berpikir sederhana yang ditawarkan Donald Trump dan Steve Banon ternyata jauh lebih menyentuh hati rakyat Amerika, meskipun berkali-kali kepala mereka disapa oleh sajian-sajian intelektual dari tim kampanye Hillary.

Pertama, beberapa kata tentang patriotisme dan urgensi keadidayaan Amerika jauh lebih beresonansi dengan pemilih, ketimbang data dan fakta “njilimet” dari para pakar tentang masa depan Amerika yang lebih baik.

Kedua, pendekatan sederhana tersebut berpadu dengan keberuntungan Donald Trump berkat penerapan sistem electoral college. Mengalami kekalahan pada ranah popular vote tiga jutaan suara, tapi ternyata menang di electoral college.

Itulah keberuntungan politik, yang tak terhitung oleh kehebatan rasionalitas tim Hillary.

Ketiga, yang paling penting, adalah jiwa zaman yang lahir di era digital, di mana legitimasi para ahli dan pakar sudah dianggap basi dan memudar karena dinilai sebagai hasil pikiran para intelektual kampus yang dibuahi melalui sistem meritokrasi elitis.

Risiko dari perubahan perilaku tersebut, pada pemilihan tahun 2020, sebagian besar para pendukung Donald Trump sampai hari ini masih meyakini bahwa pemilihan umum telah dicurangi.

Lantas bagaimana dengan Indonesia belakangan, terutama setelah tiga pakar hukum tata negara mengungkapkan temuannya dalam film dokumenter, Dirty Vote, yang sempat ramai dibicarakan?

Setidaknya, ada kontradiksi yang melatari ketiga pakar tersebut, di mana sebelumnya ketiganya adalah "endorser" Jokowi di awal kemunculan Jokowi di pentas nasional, lalu saat ini justru berusaha merongrong Jokowi.

Jadi secara historis, ketiganya terjebak ke dalam perangkap historis, sebagaimana yang dialami oleh Eep Saefulloh Fatah.

Terlepas apakah ketiganya bermotif politik atau tidak, atau ketiganya terafiliasi dengan salah satu paslon atau tidak, yang jelas publik akan berpotensi memaknai sepak terjang mereka sebagai bentuk pembalasan kepada Jokowi, bukan sebagai bentuk penyelamatan demokrasi.

Artinya, yang tetap mendukung Jokowi sampai saat ini akan semakin membela Jokowi, karena dianggap Jokowi sedang diserang. Walhasil, yang didapat hanya pemilih yang memang sudah gerah dengan Jokowi di satu sisi dan boleh jadi sebagian dari undecided voters di sisi lain.

Jadi, meskipun sejarah keterikatan politik tersebut tidak terkait dengan kredibilitas dan kompetensi intelektual mereka, namun pemisahan cara pandang seperti itu terkadang hanya bisa dilakukan oleh pendengar dan penonton yang netral dan terdidik, alias bukan publik secara umum.

Sementara bagi masyarakat pemilih pada umumnya, pembelahannya tidak akan terlalu berubah secara signifikan. Hanya akan menguatkan kantong pemilih yang telah terbentuk sebelumnya.

Sehingga, masalah kontradiksi tersebut, menurut hemat saya, sangat berpotensi untuk mengurangi magnitud dari film tersebut dalam memengaruhi pemilih.

Apalagi secara umum, apa yang terjadi di Amerika juga sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Kepakaran sudah mulai dipandang secara sinis, karena dalam tataran praktis, tak sedikit para pakar nasional yang memang terlibat di dalam politik praktis, atau setidaknya terlibat secara tidak langsung di dalam dunia politik, yang membuat posisi mereka tak lagi dipandang netral.

Walhasil, apa yang mereka tunjukkan dan katakan akan selalu dicarikan keterkaitannya dengan aktor-aktor politik tertentu, sekalipun boleh jadi tidak demikian adanya.

Selain itu, maraknya buzzer atau pendengung sejak 2014 lalu, juga berperan besar dalam melemahkan legitimasi ucapan para pakar.

Para buzzer yang raison d'etre-nya memang untuk kepentingan salah satu kubu politik acapkali mendelegitimasi ucapan para pakar karena dianggap bertentangan dengan kepentingan politik para sponsor buzzer tersebut.

Sementara di ruang publik, para buzzer cenderung memiliki lebih banyak "traction" ketimbang para pakar dan ahli, karena mereka memiliki lebih banyak follower.

Walhasil, para pakar bukan saja kehilangan kredibilitasnya, tapi juga kehilangan audience, yang ujungnya juga sama, yakni semakin rontoknya kredibilitas pakar dan ahli itu.

Selanjutnya, benturan keras dari "Gerungisme" atau tekanan intelektual dari seorang Rocky Gerung di ruang publik yang acapkali memperlihatkan ketidakbergunaan ijazah dari institusi pendidikan juga semakin menyudutkan posisi intelektual di kancah publik.

Tentu aspirasi dan inspirasi yang dihadirkan Rocky Gerung tak ada yang salah, karena kemampuan berpikir kritis tentu jauh lebih substansial ketimbang ijazah, meskipun urusannya tentu tidak sesederhana itu jika dikaitkan dengan relasi antara ijazah dengan potensi lapangan pekerjaan dan lainnya, misalnya.

Plus tak lupa, karena kehadiran beberapa kandidat capres dan cawapres yang berlatar akademik, yang akhirnya hanya direndahkan oleh dua kata "omon-omon" oleh kandidat lain, dan langsung disambut tepuk tangan oleh pendukunganya, juga menjadi pemicu semakin redupnya legitimasi para pakar dan ahli.

Dua kandidat akademis ini mau tak mau, diakui atau tidak, ikut memperburuk posisi pakar dan intelektual di hadapan publik nasional.

Jadi apakah perlawanan-perlawanan politik yang datang dari aktor-aktor intelektual non politik belakangan, baik dari kampus maupun dari komunitas aktivis, akan dianggap sebagai buah dari tirany of merit oleh publik, atau sebagai suara yang murni intelektual netral, mari kita tunggu saja cerita-cerita lainnya.

Asumsi saya, penurunan kredibiltas para pakar memang sedang terjadi, sehingga pengaruhnya tidak terlalu signifikan pada perubahan pilihan politik di laga pilpres 14 Februari lalu.

Bahkan sepanjang pengamatan saya, gerakan semacam itu selalu berada di pinggir lapangan. Mulai dari kampanye antipolitisi busuk era Faisal Basri, atau Sexy Killer di tahun 2019, pengaruhnya ke publik sangat minor, sekalipun filmnya mendapat penghargaan dan isinya dianggap sangat bagus.

Apa yang terjadi kemudian? Dalam buku revisiannya di tahun 2022 lalu, "Democracy’s Discontent", pakar politik Michael Sandel mengatakan bahwa buah dari kekecewaan institusional atas demokrasi sejak berakhirnya perang dingin tidak saja melahirkan kekecewaan kepada para pakar dan ahli, tapi juga telah melahirkan gelombang "democracy's discontent" yang memuncak di era kemenangan Donald Trump.

Jadi demokrasi kita kali ini juga berpeluang dimeriahkan oleh masyarakat yang masuk kategori "democracy's discontent" ini.

Ujungnya, pemenangnya bukanlah tokoh yang dianggap ideal oleh para intelektual, tapi tokoh yang lebih berhasil menangkap jiwa zaman dan memahami sisi non rasional pemilih, lalu menurunkannya ke dalam strategi-strategi sederhana, tapi seirama dengan ekspektasi pemilih.

https://nasional.kompas.com/read/2024/02/28/05505521/senjakala-kepakaran-dan-demokrasi-kita

Terkini Lainnya

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Nasional
Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Nasional
PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

Nasional
KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

Nasional
Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Nasional
Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Nasional
Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Nasional
Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Nasional
Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Nasional
Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Nasional
Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke