Risiko dari perubahan perilaku tersebut, pada pemilihan tahun 2020, sebagian besar para pendukung Donald Trump sampai hari ini masih meyakini bahwa pemilihan umum telah dicurangi.
Lantas bagaimana dengan Indonesia belakangan, terutama setelah tiga pakar hukum tata negara mengungkapkan temuannya dalam film dokumenter, Dirty Vote, yang sempat ramai dibicarakan?
Setidaknya, ada kontradiksi yang melatari ketiga pakar tersebut, di mana sebelumnya ketiganya adalah "endorser" Jokowi di awal kemunculan Jokowi di pentas nasional, lalu saat ini justru berusaha merongrong Jokowi.
Jadi secara historis, ketiganya terjebak ke dalam perangkap historis, sebagaimana yang dialami oleh Eep Saefulloh Fatah.
Terlepas apakah ketiganya bermotif politik atau tidak, atau ketiganya terafiliasi dengan salah satu paslon atau tidak, yang jelas publik akan berpotensi memaknai sepak terjang mereka sebagai bentuk pembalasan kepada Jokowi, bukan sebagai bentuk penyelamatan demokrasi.
Artinya, yang tetap mendukung Jokowi sampai saat ini akan semakin membela Jokowi, karena dianggap Jokowi sedang diserang. Walhasil, yang didapat hanya pemilih yang memang sudah gerah dengan Jokowi di satu sisi dan boleh jadi sebagian dari undecided voters di sisi lain.
Jadi, meskipun sejarah keterikatan politik tersebut tidak terkait dengan kredibilitas dan kompetensi intelektual mereka, namun pemisahan cara pandang seperti itu terkadang hanya bisa dilakukan oleh pendengar dan penonton yang netral dan terdidik, alias bukan publik secara umum.
Sementara bagi masyarakat pemilih pada umumnya, pembelahannya tidak akan terlalu berubah secara signifikan. Hanya akan menguatkan kantong pemilih yang telah terbentuk sebelumnya.
Sehingga, masalah kontradiksi tersebut, menurut hemat saya, sangat berpotensi untuk mengurangi magnitud dari film tersebut dalam memengaruhi pemilih.
Apalagi secara umum, apa yang terjadi di Amerika juga sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Kepakaran sudah mulai dipandang secara sinis, karena dalam tataran praktis, tak sedikit para pakar nasional yang memang terlibat di dalam politik praktis, atau setidaknya terlibat secara tidak langsung di dalam dunia politik, yang membuat posisi mereka tak lagi dipandang netral.
Walhasil, apa yang mereka tunjukkan dan katakan akan selalu dicarikan keterkaitannya dengan aktor-aktor politik tertentu, sekalipun boleh jadi tidak demikian adanya.
Selain itu, maraknya buzzer atau pendengung sejak 2014 lalu, juga berperan besar dalam melemahkan legitimasi ucapan para pakar.
Para buzzer yang raison d'etre-nya memang untuk kepentingan salah satu kubu politik acapkali mendelegitimasi ucapan para pakar karena dianggap bertentangan dengan kepentingan politik para sponsor buzzer tersebut.
Sementara di ruang publik, para buzzer cenderung memiliki lebih banyak "traction" ketimbang para pakar dan ahli, karena mereka memiliki lebih banyak follower.
Walhasil, para pakar bukan saja kehilangan kredibilitasnya, tapi juga kehilangan audience, yang ujungnya juga sama, yakni semakin rontoknya kredibilitas pakar dan ahli itu.