JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu faktor yang dianggap membuat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kesulitan meningkatkan perolehan suara pada pemilihan umum (Pemilu) 2024 adalah kondisi kepemimpinan yang lemah, serta situasi internal dan basis pemilih yang kurang solid.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan, perpecahan di internal dan basis suara membuat PPP tak bisa meraih keuntungan elektoral.
Padahal, PPP berada di kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
"Secara elektoral, basis pemilih PPP tak solid mendukung Ganjar-Mahfud, karena sebelumnya sempat ada dinamika internal yang mengarahkan dukungan ke Prabowo Gibran melalui 'Pejuang PPP'," kata Agung saat dihubungi pada Jumat (16/2/2024).
Baca juga: Jalan Terjal Partai Kabah
Menurut Agung, perpecahan suara itu sangat mempengaruhi upaya PPP buat meraup suara pada Pemilu 2024.
Bahkan konflik internal di PPP sudah terjadi jauh sebelum tahapan Pemilu 2024 dimulai, yakni ketika Suharso Monoarfa mendadak dicopot dari jabatan ketua umum dan digantikan oleh pelaksana tugas Mardiono.
"Artinya kepemimpinan Mardiono sebagai Ketum tak kuat mengkonsolidasikan partai sehingga basis pemilihnya terpecah," ujar Agung.
Baca juga: Belum Pikirkan Terima Ajakan Kerja Sama Prabowo, PPP: Sabar Dulu
Agung juga menyinggung soal ketiadaan tokoh dengan magnet politik kuat di PPP menjadi salah satu faktor menyebabkan partai berlambang Kabah itu melorot dalam hasil hitung cepat.
Menurut hitung cepat Litbang Kompas pada Jumat (16/2/2024) pukul 17.34 WIB dengan data masuk sebesar 99,15 persen, partai berlambang Kabah itu berada di angka 3,88 persen.
Jika perolehan suara PPP tak beranjak lagi, maka kemungkinan mereka terlempar dari parlemen karena tidak mampu memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang ditetapkan sebesar 4 persen, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Perolehan suara PPP paling tinggi setelah peristiwa Reformasi terjadi pada Pemilu 1999. Saat itu mereka meraih 11,31 juta suara atau 10,72 persen dari total suara sah nasional.
Baca juga: PPP Terseok-seok di Pileg 2024 Diduga Akibat Tak Punya Figur Kuat
Akan tetapi, tren perolehan suara PPP dalam beberapa Pemilu setelah 1999 juga mengalami penurunan.
Pada Pemilu 2024, perolehan suara PPP turun menjadi 9,24 juta suara (8,12 persen).
Kemudian pada Pemilu 2009, perolehan suara PPP kembali turun menjadi 5,54 juta suara (5,33 persen).
Lantas pada Pemilu 2014, perolehan suara PPP meningkat dengan meraih 8,12 juta suara atau 6,53 persen.
Akan tetapi, pada Pemilu 2019 perolehan suara PPP kembali turun menjadi 6,3 juta suara atau 4,53 persen.
Jika pada Pemilu 2024 perolehan suara PPP tak bisa menembus 4 persen, maka hal itu menjadi sejarah buat pertama kali mereka terlempar dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
PPP adalah salah satu dari 3 partai tertua yang dibentuk pada masa pemerintahan rezim Orde Baru yang masih bersaing dalam kancah politik nasional, selain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar.
PPP adalah hasil kebijakan penyederhanaan partai politik pada 1971 atau masa awal pemerintahan Presiden Soeharto.
Mereka dibentuk berdasarkan fusi atau penggabungan 4 partai bernuansa Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), serta Partai Muslim Indonesia (Parmusi).
Baca juga: Real Count Pileg DPRD DKI Data 33,71 Persen: PKS Unggul, Diikuti PDI-P dan Gerindra
Kebijakan fusi itu bertujuan menyederhanakan sistem partai politik pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1973.
Quick count Litbang Kompas dalam Pemilu 2024 menggunakan metodologi stratified random sampling dengan margin of error di bawah 1 persen.
Quick count ini dibiayai secara mandiri oleh Harian Kompas.
Hasil quick count ini bukanlah hasil resmi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan melakukan rekapitulasi suara secara berjenjang dari Kamis (15/2/ 2024) hingga Rabu (20/3/2024).
Penetapan hasil Pemilu dilakukan paling lambat 3 hari setelah memperoleh surat pemberitahuan atau putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.