Bahkan tak hanya itu. Keputusan penguasa untuk menindaklanjuti kegerahannya kepada pihak kampus dengan menggunakan aparat sangatlah tidak patut.
Intimidasi yang diterima oleh beberapa intelektual kampus dan beberapa aktifis kampus tidak semestinya terjadi dan akan menjadi bukti tambahan bahwa kekuasaan memang semakin tidak demokratis.
Mirisnya lagi, supresi dan opresi terang-terangan tersebut beriringan dengan rekayasa pernyataan dari pihak kampus lainnya yang ditujukan untuk memberikan dukungan intelektual kepada pemerintah.
Terbukti akhirnya penyataan tersebut lahir atas permintaan oknum aparat kepada para pihak yang tercandra tidak atau belum ikut dalam seruan moral sebelumnya.
Bukankah sangat disayangkan, kekuasaan justru semakin bersikap tak terpuji saat ditegur oleh para punggawa intelektual kampus.
Penguasa melalui tangan aparat justru semakin antikritik dan opresif, tapi di saat yang sama terus membela diri bahwa pemerintah dan jejaring elite yang menopang sangat menghormati demokrasi.
Sejatinya, delegitimasi dan politisasi seruan moral dari pihak kampus oleh penguasa dan infrastruktur politiknya semestinya tidak terjadi.
Penyikapan tersebut hanya akan merugikan penguasa dan segala kepentingan ekonomi politik yang memang sedang ingin digapai oleh penguasa. Pasalnya, penyikapan semacam itu hanya akan membawa penguasa selangkah lagi berhadapan dengan rakyat.
"I think ideas only lead to change for intellectual people; and not even them. What really leads to change is experience. Life itself is the teacher," tulis Rachel Naomi Remen.
Para intelektual bisa menjadi awal dari perubahan karena narasi-narasi kebenaran yang disampaikan akan menggugah dan membangunkan kesadaran publik.
Lalu kesadaran tersebut akan berinteraksi dengan kenyataan yang dialami oleh masyarakat, yang kemudian akan membuka pintu pada gerakan lebih nyata dan masif menuju perubahan.
Di saat itulah penguasa akan berhadapan langsung dengan rakyat, jika penguasa selalu memilih sikap sinis dan negatif atas seruan moral dari kalangan intelektual kampus.
Sejarah telah membuktikan hal tersebut, mulai dari Revolusi Perancis 1889 sampai pada Arab's Spring 2011 dan Chile's Uprising 2019.
Ketiga gerakan antikekuasaan tersebut lahir dari ketidakpekaan kekuasaan kepada aspirasi publik. Revolusi Perancis lahir dari keterhimpitan hidup rakyat Perancis akibat pajak yang terus naik dan objek pajaknya terus bertambah.
Arab's Spring yang oleh media diberi sebutan Revolusi Melati Tunisia juga tidak jauh berbeda. Hanya karena kesemena-menaan aparat yang membakar barang dagangan pedagang kecil Kaki Lima bernama Mohamed Bouazizi berusia 26 tahun, yang membuat pedagang tersebut frustasi, lalu membakar diri.