Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Introspeksi Kekuasaan Merespons Seruan Moral Pihak Kampus

Kompas.com - 10/02/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

The office of the scholar is to cheer, to raise, and to guide men by showing them facts amidst appearances. He plies the slow, unhonored, and unpaid task of observation. He is the world's eye - Ralph Waldo Emerson.

KEKHAWATIRAN dan keprihatinan kalangan intelektual dan kalangan kampus semestinya tidak dipolitisasi dan dikaitkan dengan kontestasi politik yang sedang berlangsung.

Keprihatinan semacam itu tidak lahir dari kehampaan, tapi dari pengamatan jernih dan kritis atas perkembangan yang terjadi belakangan, terutama soal dinamika kekuasaan yang sudah mulai kurang menghormati prinsip-prinsip moral dan etika politik.

Pengamatan tersebut adalah tanggung jawab kalangan "scholar" dan terdidik dalam kapasitasnya sebagai "mata dunia" atau "world's eye", sebagaimana disebutkan oleh Ralph Waldo Emerson di atas.

Nyatanya, pernyataan para intelektual kampus tidak muluk-muluk, hanya sebatas "notifikasi" kepada penguasa dan jejaring kekuasaan yang menopangnya untuk "bermain" berdasarkan kaidah-kaidah yang juga berlaku secara universal di banyak tempat dan tidak menggunakan "instrumen-instrumen" yang tidak biasa dipakai di dalam permainan elektoral selama ini.

Dengan kata lain, penguasa dan para "minion" kekuasaan tidak perlu merasa gerah, apalagi merasa menjadi pihak yang paling terhakimi.

Publik justru sudah sangat memahami bahwa penguasa dan jejaring kekuasaan penopangnya memang telah mempertontonkan "cara main" yang tidak berpreseden di Indonesia.

Dalam hemat saya, semestinya penguasa dan para elite ekonomi politik yang menopangnya justru berterima kasih karena di Indonesia mekanisme kontrol publik masih berjalan dengan sangat baik, sekalipun secara parlementer sudah sangat minim kekuatan oposisi yang berani secara terang-terangan mengontrol pemerintah.

Munculnya gerakan moral intelektual dari berbagai kampus membuktikan bahwa kesadaran reformasi masih melekat kuat di kalangan intelektual negeri ini.

Karena itu, kekuasaan memang semestinya tidak menafikan "raison d’etre" reformasi, dengan selalu menjunjung tinggi spirit anti-KKN dan antiotoritarianisme, sembari memosisikan kalangan intelektual kampus sebagai salah satu penopang gerakan reformasi.

Itulah satu-satunya jalan terbaik bagi kekuasaan untuk tidak tersapu oleh Gerakan Reformasi jilid II, yang menurut saya, akan bergaung kencang, jika penguasa dan jejarang elite yang menopangnya, tidak mengindahkan seruan moral dari kalangan intelektual kampus ini.

Saya yakin, pergerakan mahasiswa yang sempat berlangsung secara sporadis masif baru-baru ini hanya sekelumit sinyal yang memberi pesan kepada kekuasaan bahwa kalangan intelektual kampus bukanlah kelompok hampa kekuatan nyata.

Kekuatan tersebut bisa dalam sekejap menemukan bentuk nyatanya, jika penguasa tidak berhasil menunjukkan sikap responsif dan apresiatif atas seruan moral intelektual dari kampus.

Selain itu, reaksi penguasa yang cenderung memandang sinis, bahkan negatif dan politis, atas seruan moral dari kalangan intelektual kampus secara langsung memosisikan kekuasaan pada posisi yang kurang bersahabat dengan intelektualitas, bahkan boleh jadi berada pada posisi anti-intelektualitas.

Pada posisi ini, saya khawatir, istilah yang sering disematkan oleh seorang Rocky Gerung kepada penguasa selama ini, justru akan mendapatkan relevansinya saat ini.

Bahkan tak hanya itu. Keputusan penguasa untuk menindaklanjuti kegerahannya kepada pihak kampus dengan menggunakan aparat sangatlah tidak patut.

Intimidasi yang diterima oleh beberapa intelektual kampus dan beberapa aktifis kampus tidak semestinya terjadi dan akan menjadi bukti tambahan bahwa kekuasaan memang semakin tidak demokratis.

Mirisnya lagi, supresi dan opresi terang-terangan tersebut beriringan dengan rekayasa pernyataan dari pihak kampus lainnya yang ditujukan untuk memberikan dukungan intelektual kepada pemerintah.

Terbukti akhirnya penyataan tersebut lahir atas permintaan oknum aparat kepada para pihak yang tercandra tidak atau belum ikut dalam seruan moral sebelumnya.

Bukankah sangat disayangkan, kekuasaan justru semakin bersikap tak terpuji saat ditegur oleh para punggawa intelektual kampus.

Penguasa melalui tangan aparat justru semakin antikritik dan opresif, tapi di saat yang sama terus membela diri bahwa pemerintah dan jejaring elite yang menopang sangat menghormati demokrasi.

Sejatinya, delegitimasi dan politisasi seruan moral dari pihak kampus oleh penguasa dan infrastruktur politiknya semestinya tidak terjadi.

Penyikapan tersebut hanya akan merugikan penguasa dan segala kepentingan ekonomi politik yang memang sedang ingin digapai oleh penguasa. Pasalnya, penyikapan semacam itu hanya akan membawa penguasa selangkah lagi berhadapan dengan rakyat.

"I think ideas only lead to change for intellectual people; and not even them. What really leads to change is experience. Life itself is the teacher," tulis Rachel Naomi Remen.

Para intelektual bisa menjadi awal dari perubahan karena narasi-narasi kebenaran yang disampaikan akan menggugah dan membangunkan kesadaran publik.

Lalu kesadaran tersebut akan berinteraksi dengan kenyataan yang dialami oleh masyarakat, yang kemudian akan membuka pintu pada gerakan lebih nyata dan masif menuju perubahan.

Di saat itulah penguasa akan berhadapan langsung dengan rakyat, jika penguasa selalu memilih sikap sinis dan negatif atas seruan moral dari kalangan intelektual kampus.

Sejarah telah membuktikan hal tersebut, mulai dari Revolusi Perancis 1889 sampai pada Arab's Spring 2011 dan Chile's Uprising 2019.

Ketiga gerakan antikekuasaan tersebut lahir dari ketidakpekaan kekuasaan kepada aspirasi publik. Revolusi Perancis lahir dari keterhimpitan hidup rakyat Perancis akibat pajak yang terus naik dan objek pajaknya terus bertambah.

Arab's Spring yang oleh media diberi sebutan Revolusi Melati Tunisia juga tidak jauh berbeda. Hanya karena kesemena-menaan aparat yang membakar barang dagangan pedagang kecil Kaki Lima bernama Mohamed Bouazizi berusia 26 tahun, yang membuat pedagang tersebut frustasi, lalu membakar diri.

Peristiwa superlokal di salah satu jalanan ibu kota Tunisia di Tunis tersebut ternyata menjadi akhir dari rezim Presiden Zine al-Abidine Ben Ali, lalu menjalar ke Mesir yang mengakhiri rezim Presiden Hosni Mobarak.

Pun Uprising di Chili tahun 2019 hanya berawal dari kenaikan tarif transportasi publik metro. Namun kenaikan tarif tersebut menjadi puncak kemarahan massa atas ketimpangan ekonomi yang terjadi di Chili sejak bertahun-tahun lalu.

Lebih dari 1,2 juta warga di Santiago turun ke jalanan memprotes kesenjangan sosial dan ini dikenal sebagai pawai terbesar di Chili.

Meskipun Chili menjadi salah satu negara termaju secara ekonomi di Amerika Latin, kegagalan pemerintah dalam membaca kekecewaan publik atas ketimpangan yang ada melahirkan gerakan massa yang sangat masif di Chili.

Akibat kejadian itu, 29 orang tewas dan 2500 orang mengalami luka-luka dan 2.840 orang ditangkap aparat.

Jadi keengganan dan kelalaian penguasa dalam merasakan apa yang dirasakan publik dan kalangan intelektual bisa berujung buruk buat kekuasaan itu sendiri.

Minimnya sensitifitas dan empati politik penguasa kepada kekhawatiran publik yang sudah dibahasakan dengan sangat lugas dan santun oleh para intelektual kampus berpotensi melahirkan gerakan yang lebih masif dan frontal.

Atas alasan itu, tak bisa tidak, penguasa semestinya bisa bereaksi lebih bijak dan introspektif dalam menyikapi kemunculan seruan moral intelektual dari kalangan intelektual kampus.

Lahirnya seruan semacam itu adalah pertanda, yakni sesuatu tak biasa yang sejatinya harus benar-benar diperhatikan secara baik dan bijak oleh kekuasaan.

Jika di mata kalangan intelektual kampus bahwa demokrasi Indonesia sedang tak baik-baik saja, maka segala pembelaan penguasa tentang demokrasi Indonesia yang baik-baik saja akan mulai dipertanyakan publik.

Karena itulah cara terbaik bagi penguasa untuk menyikapinya adalah dengan introspeksi diri di satu sisi dan menempatkan seruan para intelektual secara proporsional tanpa harus memolitisasinya di sisi lain.

Sementara di sisi lain, para intelektual kampus harus terus menunjukkan independensi intelektualitasnya di satu sisi dan terus mengedepankan supremasi moralitas dalam gerakannya di sisi lain, sembari terus melakukan penyamaan visi misi dengan elemen-elemen riil kampus, terutama mahasiswa, dan kekuatan masyarakat sipil lainnya (bukan dengan partai politik), sebagai bukti nyata bahwa kekuatan moral dan intelektual kampus memiliki basis sosial yang kokoh, tanpa terpengaruh oleh kontestasi elektoral yang sedang berlangsung. Semoga!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Nasional
Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Nasional
PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

Nasional
KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

Nasional
Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Nasional
Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Nasional
Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Nasional
Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Nasional
Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Nasional
Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Nasional
Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com