Bahkan, dianggap reinkarnasi Orde Baru, neo-Orde Baru, karena nepotisme dan politik dinastinya. Jokowi tak lagi memesona, tak lagi menumbuhkan optimisme.
Titik balik itu secara terang-benderang terjadi sejak Jokowi akhirnya merestui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden (cawapres) berpasangan dengan calon presiden (capres) Prabowo Subianto. Padahal, pintu yang dilalui Gibran bermasalah dari sisi etika.
Gibran dapat menjadi cawapres Prabowo setelah Mahkaman Konstitusi (MK) mengubah syarat capres dan cawapres.
Putusan MK itu dinilai melanggar etika, sehingga Ketua MK Anwar Usman dicopot dari jabatannya oleh Mahkamah Kehormatan MK (MKMK).
Ia dinilai melakukan pelanggaran etik berat, karena ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran.
Saat MK dikritik keras oleh publik, terutama ahli hukum, dan mengundang keprihatinan banyak kalangan, sebenarnya Jokowi masih memiliki kesempatan agar revolusi mentalnya tidak mengalami titik balik.
Yakni, tidak mengizinkan putra sulungnya melanjutkan proses pendaftaran calon di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meski terbuka jalan buat sang putra sebagai cawapres, tapi jalan itu bisa diabaikan.
Namun, sayang sekali, Jokowi tak mengambil kesempatan tersebut. Jokowi tak nge-rem. Gibran melenggang dan diproses oleh KPU sebagai cawapres Prabowo. Pasangan Prabowo-Gibran lalu mendapatkan nomor 2.
Namun, belakangan tindakan KPU menerima pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran ternyata juga melanggar etika menurut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Akibat tindakan itu, ketua dan anggota KPU diberi sanksi peringatan keras oleh DKPP.
Jadi, ada dua pelanggaran etika pada proses pencalonan pasangan Prabowo-Gibran. Pertama di lembaga MK dan kedua di KPU.
Sejak itu kritik makin keras dan meluas. Belakangan muncul pula kritik dan seruan moral dari kalangan sivitas akademika berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Sepanjang era reformasi baru kali ini kalangan sivitas akademika merespons fenomena politik secara masif.
Lima kali pemilu legislatif dan empat kali pilpres tak ada suara gemuruh dari kampus. Pemilu berlangsung damai dan aman, meski Pilpres 2019 diikuti Jokowi selaku petahana.
Titik balik revolusi mental Jokowi terjadi, karena proses pencalonan pasangan Prabowo-Gibran dinilai menabrak aturan dan etika politik yang mestinya dijunjung tinggi dalam praktik demokrasi. Kepentingan kekuasaan ditengarai lebih dikedepankan daripada hukum dan moralitas.
Publik lalu khawatir dan cemas terhadap arah kekuasaan akan menuju politik tirani. Kekuasaan dicurigai telah dan akan memanfaatkan lembaga hukum, menyalahgunakan birokrasi dan aparat negara.
Bahkan juga anggaran negara untuk kemenangan pasangan tertentu, misalnya dalam bentuk bantuan sosial (bansos).
Dari sudut revolusi mental tentu saja bertolak belakang dengan nilai-nilai yang sejak awal ditumbuhkan Jokowi. Dan, Jokowi tak nge-rem.
Titik balik revolusi mental Jokowi telah terjadi. Kepatuhan pada hukum dan etika, persatuan-kesatuan yang menjadi nilai esensial revolusi mental terancam. Optimisme bangsa pun terancam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.