Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Titik Balik Revolusi Mental Jokowi

Kompas.com - 08/02/2024, 10:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Tapi saya juga ndak tahu kenapa, sedikit demi sedikit (karakter) itu berubah dan kita ndak sadar. Yang lebih parah lagi ndak ada yang nge-rem. Yang seperti itulah yang merusak mental," ujar Jokowi (Kompas.com, 17/10/2014).

KALIMAT pembuka esai ini merupakan bagian dari penjelasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal “revolusi mental”.

Penjelasan tersebut diberikan Jokowi menjelang dilantik sebagai presiden menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tepatnya saat diskusi yang dipandu oleh presenter Najwa Shihab di Balai Kartini, Jakarta, Jumat, 17 Oktober 2014.

Revolusi mental merupakan jargon yang diusung presiden terpilih Jokowi (berpasangan dengan Jusuf Kalla) sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kompetitornya saat itu adalah Prabowo Subianto berpasangan dengan Hatta Rajasa.

Sebagai kader PDIP yang diusung sebagai calon presiden (diusung bersama Partai Nasdem, PKB, Parti Hanura, dan PKPI), Jokowi tentu saja tampil merepresentasikan ideologi partainya.

Kita tahu, ideologi PDIP bersumber pada pemikiran Soekarno, ayah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Banyak kalangan angkat topi, termasuk saya, terhadap retorika dan tampilan Jokowi saat itu. Seorang warga negara biasa, bukan turunan pembesar, juga bukan tokoh partai politik, tapi berhasil memperoleh kepercayaan politik tertinggi sebagai presiden.

Karakter sebagai “orang biasa” yang sukses meraih kepercayaan politik tertinggi rupanya mendasari cara pandangnya dan menyemangati geraknya. Jokowi menemukan terminologi yang cocok secara ideologis, yakni “revolusi mental”.

Menurut Jokowi, revolusi mental harus dimulai dari mengenal karakter orisinal bangsa Indonesia. Di mata Jokowi, bangsa Indonesia berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong.

Karakter tersebut diyakini Jokowi sebagai modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. Namun, telah berubah sedemikian rupa, sebagaimana perkataan Jokowi yang saya kutip mengawali esai ini. Jokowi menyebutnya “merusak mental”.

Perubahan karakter bangsa itulah akar masalah korupsi, kolusi, nepotisme. Etos kerja tidak baik, birokrasi bobrok, hingga ketidaksiplinan. Kondisi semacam itu dibiarkan selama bertahun-tahun, sehingga menjadi semacam “budaya” bangsa.

"Oleh sebab itu, saya menawarkan ada sebuah revolusi mental," ujar Jokowi (Kompas.com, 17/10/2014).

Revolusi tidak selalu berarti perang melawan penjajah. Kata revolusi, menurut Jokowi, merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya.

"Kalau ada kerusakan di nilai kedisiplinan, ya mesti ada serangan nilai-nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola pikir, mindset. Titik itulah yang kita serang," ujarnya (Kompas.com, 17/10/2014).

Saya pun terkesima, acungkan jempol. Revolusi mental bukan perkara sederhana. Isu mendasar, tapi butuh penjelasan dan instrumen operasional yang tak mudah. Hanya dua presiden yang menggaungkan revolusi mental: Soekarno dan Jokowi.

Gerakan hidup baru

Gagasan revolusi mental pertama kali dilontarkan oleh Soekarno pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah tindakan revolusioner, tapi Soekarno melihat revolusi nasional berjalan tertatih-tatih. Ia lalu menggelorakan revolusi mental.

"Revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala," ujar Soekarno.

Gagasan tersebut diperjelas kembali oleh Soekarno pada 1957. Melalui seruannya tentang “gerakan hidup baru”.

Kala itu, dekade 1950-an, kita dihadapkan perbedaan kepentingan dan pertikaian antarkelompok politik secara tajam.

Pemilu 1955 memang berhasil membentuk Konstituante, badan atau dewan yang bertugas membentuk konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Konstituante mulai bersidang pada November 1956. Namun, hingga 1958, Konstituante tidak berhasil menjalankan tugasnya. Perdebatan tak kunjung menemukan kesepakatan. Soekarno lalu mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

Nasional
Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Nasional
Anggota Komisi VIII Kritik Kemensos karena Tak Hadir Rapat Penanganan Bencana di Sumbar

Anggota Komisi VIII Kritik Kemensos karena Tak Hadir Rapat Penanganan Bencana di Sumbar

Nasional
PAN Tak Mau Ada Partai Baru Dukung Prabowo Langsung Dapat 3 Menteri

PAN Tak Mau Ada Partai Baru Dukung Prabowo Langsung Dapat 3 Menteri

Nasional
Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Nasional
PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

Nasional
PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

Nasional
Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Nasional
Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Nasional
Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Nasional
Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Nasional
Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Nasional
TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

Nasional
Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Nasional
Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com