“Gerakan hidup baru” digelorakan Soekarno sebagai bagian dari revolusi mental. Menurut Soekarno, dua fase dari tiga fase revolusi bangsa telah dilalui. Dua fase itu adalah fase revolusi fisik (1945-1949) dan fase survival (1950-1955). Satu fase lagi sebagai tantangan, yakni fase investasi.
“Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment,” ujar Soekarno (Latif, 2020).
Mengapa investasi mental? Soekarno menyadari bahwa kolonialisme telah membentuk “mentalitas jajahan”. Mentalitas rendah diri, penuh perasaan tak berdaya, tak percaya diri.
Kata Soekarno, bangsa besar, tapi bermental kecil. Suka bertengkar untuk urusan sepele.
Inti revolusi mental Soekarno dan Jokowi pada hakikatnya sama: “membangun jiwa”. Seperti kata WR Soepratman pada lagu “Indonesia Raya”: Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya.
Di dalam ”jiwa” itu terdapat karakter, etos, semangat, nilai-nilai. Di dalam ”jiwa” itu pula kita bisa merasakan dan mengerti hidup berkebangsaan, menumbuhkan ”kecerdasan kolektif” sebangsa dan senasib, seperjuangan.
Sementara itu, ”badan” adalah instrumen bagi kelangsungan ”jiwa”. Sejarah Eropa menunjukkan bahwa bangsa-bangsa Barat mencapai kemakmuran dengan menguasai ilmu pengetahuan & teknologi setelah menemukan ”Pencerahan” (aufklarung).
Meski dikritik keras oleh Soekarno bahwa “Jiwa Pencerahan” Barat bersifat menjajah. Jiwa menjajah inilah yang ditolak Soekarno. Bangsa Indonesia ke depan tak boleh menjajah, maka Soekarno menawarkan “Jiwa Pancasila”.
Singkat kata, inti revolusi mental sesungguhnya adalah membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku yang menghambat dan menghalang-halangi Indonesia menjadi bangsa besar, maju dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan. Tentu saja kemajuan yang tak menjajah, kemajuan yang berkeadilan sosial, kemajuan yang dibingkai nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai esensialnya meliputi etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan. Juga berpandangan optimistis, produktif-inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong royong, serta berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum.
Jokowi di mata saya menumbuhkan optimisme. Ya, optimisme sebagai bangsa merdeka yang kelak menemukan arti kemerdekaan yang sesungguhnya.
Jokowi beruntung. Situasi dan kondisi politik pasca-Pilpres 2014 relatif kondusif untuk mendukung implementasi nilai-nilai revolusi mental di pemerintahannya.
Bappenas dan Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) selaku “leading sector” dapat segera bekerja menerjemahkan dan memandu program-progam revolusi mental di kementerian dan lembaga negara.
Jokowi lalu melengkapinya dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental.
Revolusi mental Jokowi terbukti berdampak positif terhadap kinerja pemerintahannya. Banyak prestasi yang diraih berkat nilai-nilai esensial dari revolusi mental tersebut.
Meski di sana-sini masih terdapat hal-hal negatif yang kontraproduktif dengan nilai-nilai revolusi mental itu, misalnya soal korupsi.
Prestasi-prestasi tersebut secara politik lalu mengantarkan Jokowi dicalonkan kembali oleh PDIP pada Pilpres 2019 dan terpilih kembali sebagai sebagai presiden 2019-2024. Kompetitornya saat itu adalah Prabowo Subianto berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Namun, saya membaca terjadi titik balik justru menjelang akhir jabatan periode kedua. Nilai-nilai esensial revolusi mental yang dibangunnya dengan susah payah sejak tahun awal menjabat presiden dinodainya sendiri.
Retorika dan tampilannya, serta bangunan kebangsaan yang dipeloporinya, yang mengundang kekaguman, runtuh seketika.
Lalu, memunculkan kritik tajam dan sinisme kepada Jokowi yang serba bertolak belakang dengan prestasi-prestasi sebelumnya yang mengundang decak kagum sebagian besar masyarakat.