Tak berselang lama setelah itu, kandidat presiden Prabowo Subianto menentukan pasangan wakil presidennya, yang tak lain dan tak bukan adalah anak presiden Jokowi, yang baru beberapa tahun menjabat sebagai wali kota Solo, yakni Gibran Rakabuming Raka.
Tak pelak, posisi Jokowi mendadak serupa dengan posisi Duterte, yang membiarkan anaknya untuk ikut berkontestasi di kancah pemilihan presiden, di saat mereka masih menjabat sebagai presiden.
Perbedaannya secara makropolitik, di Filipina hanya muncul dua pasangan calon (paslon), sementara di Indonesia muncul tiga paslon, yang membuat paslon yang dihuni oleh anak Jokowi semakin sulit untuk menang dalam satu putaran.
Kesamaan lainnya adalah bahwa anak dari kedua presiden ini dipasangkan dengan calon presiden yang terkait dengan rezim diktator yang pernah berkuasa di negaranya masing-masing.
Anak Duterte menjadi wakil presiden dari Bongbong Marcos, putra dari diktator Ferdinand Marcos yang dijatuhkan melalui people power di Filipina tahun 1986.
Sementara di Indonesia, anak Jokowi dipasangkan dengan calon presiden yang notabene adalah menantu dari mantan presiden Indonesia yang juga dikenal dengan rezim diktator dan juga dijatuhkan melalui people power tahun 1998.
Nah, kesamaan ini memicu pertanyaan lanjutan, apakah yang sedang terjadi di Filipina dan isu yang sempat muncul sejak dua tahun lalu di Indonesia, akan kembali muncul, bahkan semakin kentara, jika paslon yang didukung oleh Jokowi hari ini memenangkan konstestasi 2024?
Mengapa pertanyaan ini muncul? Karena di Filipina, Duterte tak pernah mengajukan aspirasi pribadi maupun aspirasinya sebagai presiden untuk mengamandemen masa jabatan presiden Filipina.
Walhasil, konflik tersebut muncul karena Duterte tidak sepakat jika Bongbong Marcos justru mengangkat rencana tersebut.
Dukungan Bongbong pada rencana amandemen konstitusi yang terkait dengan masa jabatan presiden mengingatkan publik Filipina pada era kelam masa pemerintahan orangtua Bongbong sendiri, yang memerintah Filipina dengan tangan besi selama lebih dari 10 tahunan dengan legitimasi "martial law" atau aturan konstitusional tentang keadaan darurat.
Sementara di Indonesia, berdasarkan beberapa investigasi jurnalistik, Presiden Jokowi diindikasikan memiliki andil dalam melahirkan wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Lantas, bagaimana jika wacana yang sama kembali muncul setelah paslon yang didukung oleh Presiden Jokowi berhasil memenangkan kontestasi Pilpres 2024?
Pasalnya, Prabowo Subianto juga memiliki latar historis pemerintahan otoriter di satu sisi dan juga memiliki tendensi politik populis di sisi lain yang rentan mengembalikan Indonesia seperti di era Orde Baru.
Bagaimana Jokowi akan menyikapinya nanti jika di kemudian hari wacana yang sama dimunculkan oleh paslon yang memenangkan pilpres sekaligus paslon tersebut juga didukung oleh Jokowi, sementara Jokowi sendiri pernah terindikasi memiliki track record dalam mendukung wacana yang sama beberapa waktu lalu, yakni wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden?
Dari kelindan kejadian tersebut, termasuk dari track record Jokowi dalam menyikapi wacana serupa, nampaknya akan terjadi perbedaan antara Indonesia dan Filipina jika hal yang sama terjadi di Indonesia setelah pemilihan nanti.