Jokowi justru akan dianggap berpotensi menunggangi wacana semacam itu jika nanti muncul, karena Jokowi belum memiliki track record penolakan seperti yang dilakukan oleh Duterte.
Fakta membuktikan bahwa Presiden kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri yang dengan tegas dan jelas menyatakan penolakan atas wacana tiga periode.
Penolakan tersebut konon menjadi salah satu titik beda antara Jokowi dan Megawati, sebelum pencalonan presiden dilangsungkan.
Masalahnya, jika paslon yang didukung oleh Jokowi memenangkan kontestasi, maka kekuatan politiknya tercatat akan cukup besar untuk menyuarakan wacana yang sama. Belum lagi anggota koalisi baru yang akan bergabung setelah kalah di pemilihan.
Pendeknya, dalam hemat saya, apa yang sedang terjadi di Filipina hari ini harus menjadi lampu kuning bagi elite-elite politik negeri ini agar mempersiapkan skenario terpahit jika nanti di satu titik Indonesia berada pada situasi yang sama dengan Filipina.
Dengan berbagai latar makro yang hari ini tercandra memiliki banyak kesamaan dengan Filipina, potensi munculnya wacana yang sama di kemudian hari di Indonesia tentu juga ada.
"The tragic paradox of the electoral route to authoritarianism is that democracy’s assassins use the very institutions of democracy—gradually, subtly, and even legally—to kill it", kata Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di dalam buku "How Democracies Dies" yang terbit tahun 2018 lalu.
Semoga tidak demikian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.