Salin Artikel

Refleksi Politik Indonesia atas Memanasnya Politik di Filipina

Ancaman tersebut lahir karena presiden terpilih, Bongbong Marcos, mendukung rencana amandemen konstitusi Filipina, yang salah satunya berisikan tentang rencana pembatalan masa jabatan presiden yang saat ini berlaku.

Dalam konstitusi Filipina, presiden hanya boleh dipilih sekali untuk masa jabatan 6 tahun, setelah itu tidak bisa dipilih lagi.

Namun dalam perkembangan baru-baru ini, muncul wacana untuk menghapus masa jabatan presiden di mana Bongbong Marcos masuk ke dalam kelompok politik yang ingin membatalkan batasan masa jabatan tersebut.

Hal tersebut ditambah dengan sebab minor lainnya, yakni posisi wakil presiden, Sara Duterte yang notabene adalah putri Rodrigo Duterte, cenderung kurang dianggap di dalam pemerintahan Bongbong.

Bahkan dikabarkan, telah terjadi friksi politik di dalam pemerintahan Filipina yang tak mampu dikelola oleh Bongbong.

Pasalnya, sejak mencuatnya wacana pembatalan batasan masa jabatan presiden di dalam konstitusi negara dengan sebutan Pearl of the Orient Seas itu, pembelahan politik di Filipina semakin tajam di antara kedua kubu.

Dan putri Duterte, yang notabene masuk ke dalam kelompok kontra terhadap wacana tersebut semakin diasingkan di dalam pemerintahan.

Apa yang sedang terjadi di Filipina mengingatkan kita pada apa yang pernah terjadi di negeri ini sejak dua tahun lalu dan berpotensi terjadi setelah pemilihan presiden tahun 2024 ini.

Pasalnya, pemilu di Filipina 2022, memiliki banyak kesamaan dengan pemilihan presiden Indonesia di tahun 2024.

Sejak 2022 lalu, beberapa kali wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan masa jabatan presiden muncul ke permukaan. Termasuk kemunculan wacana tentang amandemen konstitusi yang terkait dengan masa jabatan presiden.

Jadi sebelum Filipina diguncang oleh isu amandemen konstitusi tentang penghapusan masa jabatan presiden, di Indonesia telah lebih dahulu muncul wacana yang sama.

Namun karena kencangnya penolakan publik, akhirnya wacana tersebut gugur dengan sendirinya karena gagal mendapatkan legitimasi di ruang publik.

Kendati demikian, arah dan pola Pilpres Indonesia akhirnya justru menyerupai Pilpres di Filipina.

Gugurnya wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden, akhirnya Mahkamah Konstitusi muncul dengan keputusan yang memberikan lampu hijau kepada anak presiden yang sedang berkuasa untuk ikut berkontestasi.

Tak berselang lama setelah itu, kandidat presiden Prabowo Subianto menentukan pasangan wakil presidennya, yang tak lain dan tak bukan adalah anak presiden Jokowi, yang baru beberapa tahun menjabat sebagai wali kota Solo, yakni Gibran Rakabuming Raka.

Tak pelak, posisi Jokowi mendadak serupa dengan posisi Duterte, yang membiarkan anaknya untuk ikut berkontestasi di kancah pemilihan presiden, di saat mereka masih menjabat sebagai presiden.

Perbedaannya secara makropolitik, di Filipina hanya muncul dua pasangan calon (paslon), sementara di Indonesia muncul tiga paslon, yang membuat paslon yang dihuni oleh anak Jokowi semakin sulit untuk menang dalam satu putaran.

Kesamaan lainnya adalah bahwa anak dari kedua presiden ini dipasangkan dengan calon presiden yang terkait dengan rezim diktator yang pernah berkuasa di negaranya masing-masing.

Anak Duterte menjadi wakil presiden dari Bongbong Marcos, putra dari diktator Ferdinand Marcos yang dijatuhkan melalui people power di Filipina tahun 1986.

Sementara di Indonesia, anak Jokowi dipasangkan dengan calon presiden yang notabene adalah menantu dari mantan presiden Indonesia yang juga dikenal dengan rezim diktator dan juga dijatuhkan melalui people power tahun 1998.

Nah, kesamaan ini memicu pertanyaan lanjutan, apakah yang sedang terjadi di Filipina dan isu yang sempat muncul sejak dua tahun lalu di Indonesia, akan kembali muncul, bahkan semakin kentara, jika paslon yang didukung oleh Jokowi hari ini memenangkan konstestasi 2024?

Mengapa pertanyaan ini muncul? Karena di Filipina, Duterte tak pernah mengajukan aspirasi pribadi maupun aspirasinya sebagai presiden untuk mengamandemen masa jabatan presiden Filipina.

Walhasil, konflik tersebut muncul karena Duterte tidak sepakat jika Bongbong Marcos justru mengangkat rencana tersebut.

Dukungan Bongbong pada rencana amandemen konstitusi yang terkait dengan masa jabatan presiden mengingatkan publik Filipina pada era kelam masa pemerintahan orangtua Bongbong sendiri, yang memerintah Filipina dengan tangan besi selama lebih dari 10 tahunan dengan legitimasi "martial law" atau aturan konstitusional tentang keadaan darurat.

Sementara di Indonesia, berdasarkan beberapa investigasi jurnalistik, Presiden Jokowi diindikasikan memiliki andil dalam melahirkan wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Lantas, bagaimana jika wacana yang sama kembali muncul setelah paslon yang didukung oleh Presiden Jokowi berhasil memenangkan kontestasi Pilpres 2024?

Pasalnya, Prabowo Subianto juga memiliki latar historis pemerintahan otoriter di satu sisi dan juga memiliki tendensi politik populis di sisi lain yang rentan mengembalikan Indonesia seperti di era Orde Baru.

Bagaimana Jokowi akan menyikapinya nanti jika di kemudian hari wacana yang sama dimunculkan oleh paslon yang memenangkan pilpres sekaligus paslon tersebut juga didukung oleh Jokowi, sementara Jokowi sendiri pernah terindikasi memiliki track record dalam mendukung wacana yang sama beberapa waktu lalu, yakni wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden?

Dari kelindan kejadian tersebut, termasuk dari track record Jokowi dalam menyikapi wacana serupa, nampaknya akan terjadi perbedaan antara Indonesia dan Filipina jika hal yang sama terjadi di Indonesia setelah pemilihan nanti.

Jokowi justru akan dianggap berpotensi menunggangi wacana semacam itu jika nanti muncul, karena Jokowi belum memiliki track record penolakan seperti yang dilakukan oleh Duterte.

Fakta membuktikan bahwa Presiden kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri yang dengan tegas dan jelas menyatakan penolakan atas wacana tiga periode.

Penolakan tersebut konon menjadi salah satu titik beda antara Jokowi dan Megawati, sebelum pencalonan presiden dilangsungkan.

Masalahnya, jika paslon yang didukung oleh Jokowi memenangkan kontestasi, maka kekuatan politiknya tercatat akan cukup besar untuk menyuarakan wacana yang sama. Belum lagi anggota koalisi baru yang akan bergabung setelah kalah di pemilihan.

Pendeknya, dalam hemat saya, apa yang sedang terjadi di Filipina hari ini harus menjadi lampu kuning bagi elite-elite politik negeri ini agar mempersiapkan skenario terpahit jika nanti di satu titik Indonesia berada pada situasi yang sama dengan Filipina.

Dengan berbagai latar makro yang hari ini tercandra memiliki banyak kesamaan dengan Filipina, potensi munculnya wacana yang sama di kemudian hari di Indonesia tentu juga ada.

"The tragic paradox of the electoral route to authoritarianism is that democracy’s assassins use the very institutions of democracy—gradually, subtly, and even legally—to kill it", kata Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di dalam buku "How Democracies Dies" yang terbit tahun 2018 lalu.

Semoga tidak demikian.

https://nasional.kompas.com/read/2024/02/02/06400711/refleksi-politik-indonesia-atas-memanasnya-politik-di-filipina

Terkini Lainnya

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke