Toh nyatanya tak ada yang sempat berpikir kalau Jokowi akan melawan ke PDIP dan Megawati Soekarnoputri, tapi nyatanya Jokowi melakukan itu.
Padahal, jika ada anak-anak yang melawan kepada orangtua, maka akan dilabeli sebagai anak durhaka. Beruntung bagi Jokowi, PDIP masih belum melabelinya sebagai anak durhaka.
Lalu, belum usai soal kontroversi presiden boleh berkampanye, Jokowi kembali menggemparkan publik dengan rencana pemberian BLT dadakan atas nama mitigasi risiko tekanan ekonomi. Angkanya mendadak naik, waktunya dikebut.
BLT yang seharusnya enam bulan, dikebut dalam sekali pencairan. Secara etika, kebijakan semacam ini adalah pelanggaran etis yang akut. Tak ada angin tak ada hujan, kebijakan berubah mendadak.
Sebenarnya publik juga memahami bahwa logika bansos memang untuk menahan agar pertumbuhan ekonomi tidak mengalami penurunan lebih lanjut. Jadi dalam konteks ini, bansos memang bisa dimengerti.
Pasalnya, sebagaimana diketahui dari data PDB beberapa kuartal terakhir, pertumbuhan terus mengalami penurunan. Utamanya pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat alias tercatat kurang menggembirakan.
Artinya, ada masalah dengan daya beli masyarakat, terutama karena inflasi untuk beberapa komoditas pokok.
Karena itu, dalam konteks ekonomi, cukup bisa dipahami mengapa pemerintah memilih opsi intervensi dengan berbagai macam bansos, agar tekanan daya beli tak terlalu memberatkan kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Sekali lagi, dalam konteks ini, tentu tak ada masalah. Saya yakin, semua ekonom akan memahami hal tersebut, karena memang intervensi dibutuhkan jika ekonomi tak berjalan sebagaimana harapan.
Namun jika dilakukan secara dadakan, maka bukan saja etika politik yang ditabrak, etika fiskalpun akan ternodai.
Dan masalah menjadi semakin aneh karena ada potensi kepentingan politik eletoral yang bersembunyi di balik keputusan bansos tersebut. Jika saja Jokowi tidak berpihak ke salah satu kandidat atau tidak memperlihatkan keberpihakannya secara terbuka, maka tentu tak ada masalah.
Namun nyatanya tidak demikian. Presiden Jokowi secara de facto memang berpihak, bahkan sempat menyatakan bahwa presiden memang boleh memihak, yang serta merta membuat semua kebijakan bansos mau tak mau berpengaruh secara elektoral ke salah satu paslon, yakni paslon yang didukung presiden.
Walhasil, kebijakan bansos berpeluang menjadi instrumen "pork barrel politic", yakni memakai anggaran negara untuk program dan kebijakan intervensionis, yakni kebijakan sosial kesejahteraan, baik dalam skala lokal maupun nasional, yang berpeluang untuk menguntungkan salah satu paslon secara elektoral. Di sinilah masalah itu muncul dan mulai dipersoalkan oleh banyak pihak.
Dan karena itulah, mengapa semestinya para paslon harus nonaktif dari segala jabatannya di pemerintahan, agar tidak terjadi "spill over" elektoral dari kebijakan pemerintah yang menggunakan anggaran negara. Sayangnya, ternyata itu tak terjadi.
Pun karena itu pula kenapa seorang presiden, yakni presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, seharusnya berposisi netral-senetralnya, agar pemilihan umum berada pada level playing field yang sama untuk semua paslon alias tidak ada calon yang menjadi "free rider" atas kebijakan bansos pemerintah.