Dualitas karakter yang ditunjukan oleh Gibran juga memengaruhi atau bertolak belakang dengan adab berdiskusi atau debat, karena inkonsistensi karakter.
Padahal adab berdiskusi atau debat sangat penting untuk menciptakan dialog yang bermakna dan kemampuan menghormati pendapat orang lain.
Etika melibatkan mendengarkan dengan penuh perhatian, menghormati perbedaan pendapat, dan menghindari sikap merendahkan lawan debat.
Etika berdiskusi penting karena menciptakan suasana yang mendukung pertukaran ide yang sehat. Ada penghormatan terhadap pendapat orang lain, sehingga dapat dibangun pemahaman yang lebih baik, bukan sekadar mau menang-menangan.
Apalagi di panggung debat pilpres yang tentu saja mendapat perhatian luas khalayak, etika berdiskusi tentu dapat membantu mempertahankan norma-norma sosial yang positif dalam komunikasi.
Etika tidak saja soal verbal, tapi juga meliputi aspek non-verbal seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, intonasi suara, dan gestur juga sangat penting.
Sehingga gestur Gibran yang terkesan mengolok-olok lawan debat terutama terhadap Mahfud MD yang merupakan profesor atau guru besar, tentu saja menuai sentimen yang kontraproduktif atau negatif.
Ketiga, strategi argumen ad hominem. Adalah dengan menyerang pribadi seseorang atau lawan debat dengan mengabaikan substansi pendapat dari pihak lawan debat tersebut.
Serangan yang dilakukan justru mengarah pada karakter pribadi dari lawan debat itu sendiri. Yang diserang bukan argumennya, melainkan orang yang mengemukakan argumen tersebut.
Hal yang tentu saja dapat mengganggu jalannya diskusi dan menghambat pertukaran ide yang lebih substantif dan bermakna antara peserta debat.
Istilah "ad hominem" berasal dari bahasa Latin dan dapat diterjemahkan sebagai "ke arah manusia." Istilah ini digunakan untuk merujuk pada jenis argumen di mana penyerangan atau kritik pribadi terhadap individu digunakan sebagai upaya untuk membantah argumen yang diajukan oleh orang tersebut.
Ad hominem tidak membahas substansi argumen, melainkan mencoba menghancurkan karakter atau integritas individu yang menyampaikan argumen tersebut. Ini cara menghindari substansi debat.
Istilah "ad hominem" telah ada sejak zaman dahulu. Filosof Romawi kuno seperti Cicero dan Quintilian, yang hidup pada abad ke-1 SM dan abad ke-1 M, merujuk pada konsep ini.
Orang yang menggunakan ad hominem biasanya cenderung melibatkan diri dalam argumen yang kurang substansial atau kurang mampu membantah argumen lawan secara langsung. Trik menutup kekurangan.
Strategi ini dipraktikan Gibran, misalnya, ketika menyerang dengan mengatakan Muhaimin
lucu, karena bertanya soal lingkungan, tapi menggunakan botol plastik di arena debat. Sementara Gibran mengklaim kalau ia menggunakan tumbler.
Trik ini sebenarnya terlihat kurang relevan dan menyesuaikan dengan situasi. Sebab semua pasangan kandidat yang masuk arena debat tak terlihat membawa botol minuman masing-masing.
Dari layar televisi juga tak terlihat ada botol minuman. Atau sekalipun ada minuman di atas meja, itu biasanya disiapkan oleh penyelenggara debat, sehingga tak ada kaitannya dengan komitmen soal lingkungan.
Dalam debat sebelumya pun Gibran tak terlihat membawa tumbler. Jadi mempersoalkan botol minuman plastik hanya gimik atau trik jatuhkan lawan debat. Seolah merupakan skenario untuk memojokan yang telah dipersiapkan, semacam agenda setting.
Strategi ad hominem dan sikap yang boleh dikata kurang santun dan juga ditunjukan dalam fragmen ketika Gibran bertanya kepala Mahfud bagaimana caranya mengatasi Greenflation?
Moderator sempat mengingatkan agar terminologi baru, apalagi dengan bahasa asing atau singkatan untuk dijelaskan lebih lanjut oleh penanya.
Gibran dengan agak ‘pongah’ mengatakan, “Ini tadi tidak saya jelaskan karena kan beliau kan seorang profesor, greenflation ini adalah inflasi hijau”. Seolah ingin mengecilkan kapasitas pemahaman Mahfud.
Tidak berhenti sampai disitu, setelah Mahfud menjelaskan pandangan atau perspektif-nya, Gibran menimpali lagi dengan sikap dan gestur yang boleh dikata kurang elok dalam debat cawapres.