"Tolong sekali ini saja sa'man wa tho'atan," ujarnya menirukan ucapan yang disampaikan Miftachul dalam pertemuan itu.
"Jadi harus mendengar dan taat. Tradisi NU adalah pernyataan rais aam akan ditaati. Beliau tidak perlu menggunakan diksi seperti memohon. Dawuh beliau akan diikuti karena beliau rais aam. Tapi kenapa? Kenapa sampai terkesan meminta, bukan menginstruksikan?" katanya.
Baca juga: PBNU Sebut Khofifah Akan Dianggap Cuti karena Gabung TKN Prabowo-Gibran
Dalam pertemuan itu, menurut Nadir, PBNU juga tidak memberikan landasan keagamaan mengapa harus mendukung calon tertentu yang disinyalir Prabowo-Gibran, padahal setiap kali langkah NU selalu dilandasi oleh dasar fikih.
"Tapi ada alasan-alasan rasional yang disebutkan Gus Yahya--menurut cerita yang hadir pada saat itu--bahwa misalnya, ada kekhawatiran-kekhawatiran terhadap paslon tertentu di mana kelompok ekstrem ada di belakangnya," ujar Nadir.
"Kemudian juga disampaikan bahwa kita ikut Pak Jokowi karena Pak Jokowi sudah banyak membantu NU, banyak program pemerintah yang di-MoU-kan untuk keterlibatan NU, dan karena Pak Jokowi cenderung ke 02 ya kita ikut. Untungnya kita kenapa? Pak Jokowi sudah--saya mengutip ya--menjanjikan untuk konsesi pertambangan yang sudah berjalan dan baru akan dapat enam bulan lagi. Berarti lebih kental nuansa manfaatnya untuk NU ketimbang landasan fikihnya," katanya lagi.
Walaupun merasa mencari "manfaat" dari sebuah proses politik tidak ada salahnya, Nadir mengatakan, hal ini bermasalah karena NU bukan partai politik, melainkan organisasi kemasyarakatan.
Dia mengaku khawatir NU tidak lagi dapat menjadi unsur perekat bangsa karena keberpihakannya pada kandidat tertentu dalam kontestasi elektoral.
Baca juga: PBNU Benarkan Temui Pengurus Se-Jawa Timur, Beri Arahan soal Pilpres 2024
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.