Hasil risetnya, komunikator kelompok kepentingan seperti ormas atau komunitas memiliki nilai signifikansi pengaruh yang tinggi, ketimbang kampanye negatif itu disampaikan oleh partai politik dan lebih-lebih oleh kandidat secara langsung.
Hal ini menjawab mengapa di Indonesia kandidat yang tidak melakukan kampanye sekalipun mendapatkan limpahan berkah elektoral, akibat kesalahan lawan yang tidak terukur melempar isu-isu negatif terhadap lawannya.
Kedua, pesan kampanye negatif lebih direspons jika menyangkut aspek perilaku. Kebiasaan terhadap hariannya, karakter kepemimpinan, dan cara-cara merespons masalah atau kebijakan lebih disoroti ketimbang pemikirannya atau asosiasinya dengan kelompok tertentu.
Tentu aspek penilaian ini tidak dilepaskan dari kredibilitas orang yang melakukan serangan kampanye negatif. Sebelum melakukan serangan, harus jelih melihat serangan itu jangan sampe berbalik menyerang diri sendiri.
Serangan-serangan dalam kampanye negatif juga harus ditujukan tidak hanya untuk menurunkan elektabilitas lawan, tetapi memastikan aliran penurunan elektabilitas lawan mengalir ke kandidat tersebut, bukan ke lawan lain, atau berujung menjadi golongan putih alias golput.
Lebih penting, terlepas dari kiat sukses kampanye negatif yang dipilih para kontestan dalam pemilu, perlu dimasukan dalam agenda kita semua bahwa kampanye negatif bukan sekedar gencarkan serangan negatif ke lawan untuk menang, dengan isu-isu receh yang berada di permukaan yang tanpa kita sadari, memanipulasi publik untuk jauh dari persoalan riil dalam masyarakat, bangsa dan negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.