Syaratnya pemilih berhak mengetahui tidak hanya aspek positif, melainkan aspek negatif calon pemimpinnya. Ibarat menu di restoran, pemilih tahu komposisi utuh dari pilihan makanan yang akan dimakannya.
Setidaknya ada lima kegunaan penting tentang kampanye negatif, menurut Johnson-Cartee dan Copeland dalam Ikrama M (2022).
Pertama, membangun kesadaran tentang kandidat dan posisi isu. Kedua, membantu pemilih merancang prioritas isu dalam agenda politik mereka.
Ketiga, meningkatkan ketertarikan pemilih dalam kampanye dengan menstimulasi secara interpersonal dan diskusi publik dan memperluas jangkauan media.
Keempat, merangsang evaluasi pemilih yang mensponsori kandidat. Kelima, memastikan evaluasi kandidat menjadi terpolarisasi sehingga keputusan memilih menjadi sederhana.
Secara sederhana kampanye negatif berupaya menceritakan rekam jejak (track record) buruk kompetitor dengan narasi yang dilebih-lebihkan dan dapat menguraikan kejanggalan atau kesalahan lawan dengan secara verbal atau fisik.
Johnson dan Copeland dalam ikrama M (2022) menyusun tiga tipologi tentang kampanye negatif. Pertama, direct attack ads atau kampanye yang bersifat menyerang secara langsung.
Kedua, direct comparison ads atau kampanye yang membandingkan secara langsung antara kandidat dan lawan.
Ketiga, implied comparison ads atau kampanye yang melakukan perbadingan antara kandidat dan lawan atau secara tersirat secara tidak langsung. Perbandingan tersirat tidak negatif dalam dan dari dirinya sendiri, tetapi interpretasi publik terhadap iklan tersebut yang memberi mereka karakter negatif.
Iklan perbandingan tersirat memikat pemilih untuk membuat perbandingan antara kandidat.
Riset dan analisa tentang kampanye negatif di Indonesia, umumnya banyak tersedot sebatas apakah kampanye negatif memiliki efek atau tidak.
Sedangkan menguji efektifitas kampanye negatif belum banyak dilakukan, seperti apakah serangan-serangan kampanye negatif lebih efektif dilakukan oleh komunikator sebagai kandidat langsung, dilakukan oleh partai, atau kampanye negatif dilakukan oleh kelompok kepentingan seperti ormas dan komunitas.
Begitu juga, aspek pesan kampanye negatif, apakah lebih efektif ketika menyerang pada aspek kepercayaan (believing), perilakunya (behaving), atau aspek kedekatannya atau afiliasinya dengan suatu kelompok (belonging). Begitu juga jenis-jenis kontennya.
Sebagai panduan untuk politisi dan para kontestan yang berlaga pada gelanggang pemilu. Tesis yang saya pertahankan di Universitas Paramadina (2022) berjudul Pengaruh Komunikator dan Konten Kampanye Negatif, yang penulis peroleh dengan pendekatan kuantitatif, menggunakan metodologi eksperimen, temuan-temuanya dapat menjadi kiat sukses para kontestan memainkan strategi ini.
Nasihat pertama, sesuai temuan riset itu, kampanye negatif jika disampaikan oleh komunikator yang merupakan kandidat atau rival politik langsung, merupakan strategi yang buruk.