Di pemilu, bagi tim pemenangan yang memahami strategi komunikasi, kemampuan pemilih yang terbatas dalam mempersepsi ini dimanfaatkan dengan baik. Persepsi dibentuk dengan cara mendistorsi pandangan pemilih secara sistematis. Salah satunya melalui lembaga survei.
Lembaga survei dengan segenap keunggulan dan kekuatannya sebagai perangkat jajak pendapat ilmiah, bekerja melakukan distorsi dengan cara menciptakan apa yang disebut sebagai “kecenderungan umum”.
Lembaga survei yang didanai salah satu kubu paslon, misalnya, sejak dini sudah menciptakan ‘pandangan atau kecenderungan umum’ dengan menyatakan tingkat elektabilitas calon X mencapai 47 persen bahwa pilpres hanya akan berlangsung satu putaran.
Dalam kenyataannya nanti, pandangan itu sangat mungkin mewujud. Ketika penghitungan pemungutan suara usai dilakukan, paslon X benar-benar dinyatakan sebagai pemenang.
Apakah lembaga survei mempunyai daya prediktif atau antisipatif yang luar biasa? Bisa ya, bisa tidak. Namun fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan cara sederhana melalui rangkain kejadian.
Kejadian pertama adalah lembaga survei melakukan upaya ‘pembiasan’ pandangan ke satu arah, yakni ke paslon tertentu, dengan merilis secara terbuka hasil jajak pendapat tentang tingkat elektabilitas paslon.
Tentu saja, perhatian akan terfokus pada paslon dengan jumlah pemilih tertinggi. Dengan metodelogi ilmiah (meski bisa diperdebatkan), sangat mudah membuat pemilih memercayai hasil survei.
Lalu kejadian kedua, masyarakat pemilih percaya dan ‘terbias’ pada paslon yang diunggulkan lembaga survei, sehingga memengaruhi pikiran (dan karenanya memengaruhi kejadian) yang mereka antisipasi.
Bagi pemilih yang pilihannnya sejalan dengan hasil survei, jajak pendapat ini meneguhkan keyakinannya.
Sementara pada pemilih yang ragu atau pemilih yang tidak memiliki akses yang cukup pada informasi yang relevan, besar kemungkinan besar akan ikut terbias.
Kombinasi dari dua rangkaian kejadian ini membentuk apa yang disebut “ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya (the self-fulfilling prophecy)”.
Teori ini menyebutkan bahwa bila kita membuat perkiraan atau merumuskan keyakinan di mana keyakinan itu kita percayai akan menjadi kenyataan, maka kita akan bertindak seolah-olah itu benar terjadi, meskipun sebetulnya peristiwanya belum terjadi (Insel & Jacobson, 1975; Merton, 1957).
Bias pemilih pada dasarnya memang bisa digunakan sebagai titik tolak untuk membangun model interaksi antara pandangan pemilih dan situasi pemilu tempat mereka berpartisipasi.
Dalam proses psikologis “ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya”, terdapat empat langkah yang membuat hal itu bisa terjadi.
Langkah pertama adalah, kita membuat prediksi atau merumuskan keyakinan tentang sesorang atau situasi.