Setidaknya bisa dilihat dari influencer belakangan ini lebih sering diundang atau diperhitungkan oleh Istana, ketimbang para memimpin organisasi pemuda yang berjaya di era analog.
Influencer yang menyadari potensi mereka dalam sistem demokrasi, yang bersandar pada popular vote, apalagi di era disrupsi politik, ditandai dengan majunya teknologi informasi (digital), di antaranya kemudian mulai terkonsolidasi atau saling mengajak ikut.
Menyadari punya potensi yang besar dan dapat menjadi alat tawar politik untuk saling menguntungkan dengan para politisi, diawali hubungan pertemanan, mereka kemudian ada yang berhimpun dalam satu komunitas, kendati belum terstruktur.
Influencer mendapat keuntungan berupa materi, atau setidaknya pengakuan sosial, karena mereka diajak atau diperhitungkan oleh para politisi yang di antaranya juga adalah pejabat publik, sementara para politisi termasuk kontestan pilpres mendapat insentif elektoral.
Tidak saja soal politik kekuasaan atau politik praktis, keberadaan influencer juga penting dalam mendorong perubahan sosial. Ada banyak kasus atau persoalan yang menjadi atensi influencer, kemudian mendapat perhatian dari otoritas terkait, pemangku kewajiban.
Seperti ada jalan atau fasilitas publik yang rusak divideokan, lantas viral, tak lama kemudian pejabat setempat memerintahkan untuk itu segera diperbaiki.
Karena mulai menjadi entitas yang penting, para influencer terutama mereka yang terkonsolidasi, baik itu dalam kelompok pertemanan, atau yang saling terhubung dan dikelola oleh satu manajemen, di ranah politik tak ubahnya partai politik secara fungsional.
Meski tidak dalam konteks formal dan struktural, namun —jika dilihat dengan jernih— telah menandai terjadinya disrupsi dalam konteks politik, yang kemudian lahir semacam ‘politik kreatif’, menjadikan sejumlah fungsi partai turut dijalankan atau dielaborasi.
Seperti partai, influencer sejauh ini ada yang telah menjadi bagian penting komunikasi politik. Para influencer, sebagai pribadi maupun kelompok atau komunitas kerap menjadi jembatan aspirasi. Termasuk dalam persoalan hukum dan pelayanan publik.
Di era “no viral no justice”, influencer bisa lebih digdaya ketimbang politisi biasa atau partai sekalipun. Satu postingan influencer bisa menggetarkan dan menarik perhatian yang lebih besar, otoritas terkait langsung bergegas menyikapi permasalahan yang diangkat.
Gerak para influencer jauh lebih fleksibel dan mudah berimprovisasi. Jika partai perlu rapat secara struktural untuk mengambil keputusan terkait suara atau kebijakan partai, influencer bebas mengikuti selera.
Sama seperti partai, influencer juga dapat berperan penting dalam sosialisasi politik. Hal ini merupakan satu fungsi yang tak terbantahkan dari influencer. Dalam konteks sosialisasi politik peran influencer memegang kunci sentral akhir-akhir ini.
Bila sosialisasi politik dapat diartikan sebagai upaya pemasyarakatan politik agar dikenal, dipahami, dan dihayati oleh masyarakat. Maka kini lewat influencer prosesnya bisa jauh lebih cepat atau efektif.
Influencer bisa membuat upaya membangun image atau pencitraan jauh lebih efisien, ketimbang kerja-kerja struktur partai yang kadang masih perlu waktu, apalagi dengan label ‘politisi’, mereka yang mau dipersuasi bisa apatis atau kurang tertarik.
Begitu pula dalam artikulasi kepentingan yang merupakan fungsi partai. Peran itu kini oleh para influencer dapat juga dimainkan lebih jitu, dengan menyuarakan atau menyatakan kepentingan warga kepada pemerintah dan badan-badan politik, sekalipun dilakukan secara informal melalui media sosial.
Saat ini dalam sejumlah rapat atau sidang di parlemen, lokal dan nasional, sejumlah kasus atau insiden yang viral atau diviralkan oleh influencer kemudian menjadi materi pembahasan. Mempertegas posisi influencer dalam dinamika sosial dan politik dewasa ini.
Keberadaan influencer apalagi yang punya kanal seperti podcast, yang hadir secara rutin dan di antaranya membahas berbagai isu atau persoalan publik, ternyata dapat pula efektif dalam melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Termasuk pula soal rekrutmen politik. Para influencer yang sudah tenar atau populer, ada yang direkrut kemudian diusulkan menjadi caleg, dan bila ditempa dalam politik dan pemerintahan, kedepan bisa menjadi kepala daerah atau bahkan kepala negara.