KPK bukan satu-satunya lembaga yang mengalami kemerosotan secara integritas. Banyak lembaga lain seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bawaslu, KPU dan lainnya terus mengalami kemerosotan serupa.
Mirisnya, lembaga-lembaga yang diharapkan memiliki independensi justru diisi oleh oknum-oknum yang tidak independen, tidak berintegritas, dan memiliki moralitas rendah.
Peristiwa di Mahkamah Konstitusi, misalnya, telah menggemparkan republik ini seperti seakan-akan konstitusi tunduk pada dinasti.
Putusan MK yang memberikan peluang majunya calon presiden dan wakil presiden di bawah 40 tahun bukan hanya menabrak konstitusi. Meminjam istilah Aljazeraa, putusan MK itu juga melahirkan “baby nepo”, nepotisme, dan dinasti politik lahir secara turun temurun dengan menunggangi konstitusi dan demokrasi.
Peristiwa pelanggaran etik yang berujung pada pemberhentian Ketua MK Anwar Usman oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKM) itu menyadarkan kita bahwa MK sebagai lembaga kehakiman yang mandiri bisa dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan lain atas dasar nepotisme dan dinasti politik.
Pada akhirnya kita menyadari kerusakan di MK adalah proses pembusukan politik, pembusukan konstitusional, dan sekaligus membusukkan demokrasi.
Demokrasi dan pemilihan langsung yang adil (electoral justice) tidak akan tercapai dalam proses sirkulasi kepemimpinan, sebab proses electoral sudah dimulai dengan cara-cara yang tidak jujur dan adil.
Pada akhirnya kemelut di MK menjadi aib yang terus menjadi problem politik menuju pilpres 2024 nanti.
Kerusakan Konstitusional dengan mempermainkan konstitusi demi kepentingan segelintir orang akan berakhir pada kerusakan sistem demokrasi.
Demokrasi yang berwibawa dan baik adalah demokrasi yang berdiri di atas nilai-nilai etika dan nilai moral yang menjadi panduan kehidupan bernegara.
Pembusukan juga terjadi di Mahkamah Agung. Skandal suap dan jual beli perkara yang menjerat pimpinan Lembaga Kehakiman yang agung itu merobohkan nurani keadilan para pencari keadilan.
Akibatnya, banyak hukuman para koruptor “disunat” oleh hakim-hakim di Mahkamah Agung. Pada akhirnya sulit bagi bangsa ini benar-benar menegakkan hukum dan keadilan.
Setelah Lembaga Kehakiman mengalami pembusukan, kita bergeser ke Penyelenggara Pemilu. KPU maupun Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu sering menabrak etika, bahkan dalam batas tertentu merusak tatanan pemilu yang demokratis.
Skandal ketua KPU, misalnya, sebagaimana diakui oleh Hasnaeni, bahwa ada upaya atau pesan yang disampaikan pada dirinya untuk memenangkan calon tertentu.
Bahkan skandal itu terbukti disidang etik DKPP bahwa hubungan (asmara) antara ketua Partai Politik (Hasnaeni) dengan Ketua KPU adalah skandal yang maha dahsyat. Namun di Indonesia berlalu begitu saja.