Begitu juga yang terjadi di Bawaslu. Sebagai pengawas pemilu tentu etika Bawaslu harus lebih tinggi dari KPU, namun dalam kenyataannya Bawaslu juga tidak jauh berbeda dengan KPU dalam pelanggaran etik tersebut.
Lolosnya orang-orang partai politik dalam seleksi Bawaslu di tingkat provinsi, kabupaten/kota merupakan bentuk kerusakan demokrasi yang parah. Namun, mereka masih aman, meskipun terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Inilah Indonesia.
Sebagai salah salah satu pelapor dari pimpinan lembaga negara seperti ketua MK, ketua KPK, ketua KPU, ketua dan anggota Bawaslu, saya merasa miris betapa rendahnya moral dan etika pejabat kita.
Semua laporan itu terbukti dan pimpinan lembaga-lembaga negara itu dihukum dengan pelanggaran etik berat.
Sebagai pelapor tentu saya mengetahui bagaimana mereka melakukan pelanggaran etik itu. Namun “style” putusan lembaga penegak etik masih “setengah hati”, sehingga pejabat-pejabat nakal masih bisa memegang jabatan, kecuali Firli yang diberhentikan langsung oleh presiden berdasarkan bukti pelanggaran etik yang diputus oleh Dewas KPK.
Lembaga-lembaga independen itu sekarang sudah berada dalam pembusukan institusional dari dalam. Akomodasi kepentingan politik dan tukar-menukar kepentingan para elite dilakukan secara diam-diam, bahkan dalam keadaan tertentu dilakukan secara terang-terangan.
Pembusukan institusional dan konstitusional terjadi akibat sistem politik yang pragmatis dengan mementingkan diri sendiri.
Hal ini tidak bisa dipisahkan dari proses pembuatan sistem hukum yang dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif. Produk hukum yang dikeluarkan kedua lembaga itu sering menyalahi prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam kasus Undang-Undang Omnibus Law, misalnya, kita bisa melihat “kolusi” antara eksekutif dan legislatif dalam memuluskan berlaku kembalinya UU yang telah dibatalkan oleh MK itu.
Presiden disuruh menggunakan kekuasaan maksimal tanpa ada alasan darurat apapun dengan mengeluarkan Perpu untuk mengembalikan omnibus law Cipta Kerja. Sementara DPR menerima Perppu, meski tidak konstitusional.
Ini merupakan praktik autocracy legalisme, kekuasaan seakan-akan menjalankan hukum, padahal mereka berlindung di balik hukum untuk merusaknya. Inilah yang terjadi sepanjang 2023.
Tentu ini semakin memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga inti negara (main state organ) sudah tidak dapat lagi diharapkan untuk menegakkan kepentingan bersama atau common good.
Setelah mempertimbangkan semua yang terjadi di atas, saya sampai pada kesimpulan cukup beralasan untuk pesimistis menghadapi 2024 nanti dan epilog-epilog yang menyertainya.
Potensi kemandekan dan kemacetan mengintai sistem hukum dan politik kita, dan bukan mustahil pada gilirannya akan memicu “ledakan besar”.
Semua pesimisme ini disebabkan antara lain: self interest atau sikap yang mementingkan diri sendiri, tidak menghormati hukum, tidak disiplin, integritas, moral dan etika yang rendah di antara para pejabat dan mengesampingkan kepentingan bersama (common good).