Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Refleksi 2023: Hilangnya Etika dan Pembusukan Institusi

Kompas.com - 01/01/2024, 08:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEPANJANG 2023, muncul banyak problem etik yang menimpa para pejabat di Negara ini. Tentu masih segar dalam ingatan kita, peritiwa pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, pelanggaran etik di KPK, pelanggaran etik di KPU dan Bawaslu serta kejahatan lainnya seperti korupsi, penyuapan dan tindak pidana lainnya yang terjadi di beberapa institusi inti negara ini.

Secara umum 2023 menjadi tahun yang membuka borok pejabat di negara ini. Tidak berlebihan kita mengatakan, mungkin tidak ada pejabat dengan “muka tebal” seperti di Indonesia.

Meski ‘disoraki’ oleh rakyat secara meluas karena kesalahannya, mereka tetap akan tampil di televisi membela diri.

Koruptor-pun tidak kalah hebat dalam membela diri. Istilah “kriminalisasi” kerap menjadi argumentasi spekulatif untuk menyatakan dirinya tidak korupsi. Pada akhirnya juga mereka terbukti korup dan dihukum oleh pengadilan.

Begitu juga dengan pejabat yang menegakkan hukum, rasa paling bersih dan benar kerap membuat mereka merasa seperti malaikat. Antara pejabat korup dan penegak hukum yang bebal kadang bertemu dan saling “mengumpat” untuk membela diri.

Contoh terbaru, yakni kasus korupsi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Ia ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi berupa gratifikasi dan jual beli jabatan.

Banyak orang yang menganggap penetapan Syahrul sebagai tersangka berkaitan dengan sikap partainya dalam Pilpres 2024. Sebab sebelumnya, Johnny G. Plate, politisi dari partai yang sama dengan Syahrul, juga ditangkap oleh Kejaksaan Agung.

Akibat penetapan tersangka itu, Syahrul meradang dan menuduh Ketua KPK saat itu, Firli Bahuri telah memerasnya. Syahrul akhirnya bersaksi untuk membuktikan bahwa Ketua KPK adalah pemeras.

Kini Firli membela diri, merasa dirinya diserang balik oleh Koruptor. Pada akhirnya Firli ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan oleh Penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Dari kasus ini kita dapat melihat, pejabat korup dan penegak hukum yang korup saling membongkar aib.

Di ujung persoalan tidak ada yang kalah, tokoh mereka telah mencuri uang negara dan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang, tetapi rakyat hanya menonton sebagai kegilaan-kegilaan yang tak berujung.

Pada akhirnya, Lembaga Anti-Rasuah ternyata tidak kebal suap. Pemerasan, pungli dan tindakan tidak etis dilakukan secara terus menerus oleh oknum di KPK.

KPK sebagai lembaga yang diharapkan menjadi penegak integritas dan kejujuran penyelenggara negara justru diisi oleh oknum yang tidak berintegritas dan tidak jujur.

Dari kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Firli Bahuri dapat kita lihat, moral dan etika sudah hilang dalam berbangsa dan bernegara kita.

Firli dihukum oleh Dewan Pengawas KPK karena terbukti melanggar etika, dan kasus hukumnya terus bergulir di Polda Metro Jaya.

KPK bukan satu-satunya lembaga yang mengalami kemerosotan secara integritas. Banyak lembaga lain seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bawaslu, KPU dan lainnya terus mengalami kemerosotan serupa.

Mirisnya, lembaga-lembaga yang diharapkan memiliki independensi justru diisi oleh oknum-oknum yang tidak independen, tidak berintegritas, dan memiliki moralitas rendah.

Peristiwa di Mahkamah Konstitusi, misalnya, telah menggemparkan republik ini seperti seakan-akan konstitusi tunduk pada dinasti.

Putusan MK yang memberikan peluang majunya calon presiden dan wakil presiden di bawah 40 tahun bukan hanya menabrak konstitusi. Meminjam istilah Aljazeraa, putusan MK itu juga melahirkan “baby nepo”, nepotisme, dan dinasti politik lahir secara turun temurun dengan menunggangi konstitusi dan demokrasi.

Peristiwa pelanggaran etik yang berujung pada pemberhentian Ketua MK Anwar Usman oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKM) itu menyadarkan kita bahwa MK sebagai lembaga kehakiman yang mandiri bisa dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan lain atas dasar nepotisme dan dinasti politik.

Pada akhirnya kita menyadari kerusakan di MK adalah proses pembusukan politik, pembusukan konstitusional, dan sekaligus membusukkan demokrasi.

Demokrasi dan pemilihan langsung yang adil (electoral justice) tidak akan tercapai dalam proses sirkulasi kepemimpinan, sebab proses electoral sudah dimulai dengan cara-cara yang tidak jujur dan adil.

Pada akhirnya kemelut di MK menjadi aib yang terus menjadi problem politik menuju pilpres 2024 nanti.

Kerusakan Konstitusional dengan mempermainkan konstitusi demi kepentingan segelintir orang akan berakhir pada kerusakan sistem demokrasi.

Demokrasi yang berwibawa dan baik adalah demokrasi yang berdiri di atas nilai-nilai etika dan nilai moral yang menjadi panduan kehidupan bernegara.

Pembusukan juga terjadi di Mahkamah Agung. Skandal suap dan jual beli perkara yang menjerat pimpinan Lembaga Kehakiman yang agung itu merobohkan nurani keadilan para pencari keadilan.

Akibatnya, banyak hukuman para koruptor “disunat” oleh hakim-hakim di Mahkamah Agung. Pada akhirnya sulit bagi bangsa ini benar-benar menegakkan hukum dan keadilan.

Setelah Lembaga Kehakiman mengalami pembusukan, kita bergeser ke Penyelenggara Pemilu. KPU maupun Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu sering menabrak etika, bahkan dalam batas tertentu merusak tatanan pemilu yang demokratis.

Skandal ketua KPU, misalnya, sebagaimana diakui oleh Hasnaeni, bahwa ada upaya atau pesan yang disampaikan pada dirinya untuk memenangkan calon tertentu.

Bahkan skandal itu terbukti disidang etik DKPP bahwa hubungan (asmara) antara ketua Partai Politik (Hasnaeni) dengan Ketua KPU adalah skandal yang maha dahsyat. Namun di Indonesia berlalu begitu saja.

Begitu juga yang terjadi di Bawaslu. Sebagai pengawas pemilu tentu etika Bawaslu harus lebih tinggi dari KPU, namun dalam kenyataannya Bawaslu juga tidak jauh berbeda dengan KPU dalam pelanggaran etik tersebut.

Lolosnya orang-orang partai politik dalam seleksi Bawaslu di tingkat provinsi, kabupaten/kota merupakan bentuk kerusakan demokrasi yang parah. Namun, mereka masih aman, meskipun terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Inilah Indonesia.

Sebagai salah salah satu pelapor dari pimpinan lembaga negara seperti ketua MK, ketua KPK, ketua KPU, ketua dan anggota Bawaslu, saya merasa miris betapa rendahnya moral dan etika pejabat kita.

Semua laporan itu terbukti dan pimpinan lembaga-lembaga negara itu dihukum dengan pelanggaran etik berat.

Sebagai pelapor tentu saya mengetahui bagaimana mereka melakukan pelanggaran etik itu. Namun “style” putusan lembaga penegak etik masih “setengah hati”, sehingga pejabat-pejabat nakal masih bisa memegang jabatan, kecuali Firli yang diberhentikan langsung oleh presiden berdasarkan bukti pelanggaran etik yang diputus oleh Dewas KPK.

Lembaga-lembaga independen itu sekarang sudah berada dalam pembusukan institusional dari dalam. Akomodasi kepentingan politik dan tukar-menukar kepentingan para elite dilakukan secara diam-diam, bahkan dalam keadaan tertentu dilakukan secara terang-terangan.

Pembusukan institusional dan konstitusional terjadi akibat sistem politik yang pragmatis dengan mementingkan diri sendiri.

Hal ini tidak bisa dipisahkan dari proses pembuatan sistem hukum yang dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif. Produk hukum yang dikeluarkan kedua lembaga itu sering menyalahi prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam kasus Undang-Undang Omnibus Law, misalnya, kita bisa melihat “kolusi” antara eksekutif dan legislatif dalam memuluskan berlaku kembalinya UU yang telah dibatalkan oleh MK itu.

Presiden disuruh menggunakan kekuasaan maksimal tanpa ada alasan darurat apapun dengan mengeluarkan Perpu untuk mengembalikan omnibus law Cipta Kerja. Sementara DPR menerima Perppu, meski tidak konstitusional.

Ini merupakan praktik autocracy legalisme, kekuasaan seakan-akan menjalankan hukum, padahal mereka berlindung di balik hukum untuk merusaknya. Inilah yang terjadi sepanjang 2023.

Tentu ini semakin memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga inti negara (main state organ) sudah tidak dapat lagi diharapkan untuk menegakkan kepentingan bersama atau common good.

Kerusakan mengarah pada “Gridlock Total”

Setelah mempertimbangkan semua yang terjadi di atas, saya sampai pada kesimpulan cukup beralasan untuk pesimistis menghadapi 2024 nanti dan epilog-epilog yang menyertainya.

Potensi kemandekan dan kemacetan mengintai sistem hukum dan politik kita, dan bukan mustahil pada gilirannya akan memicu “ledakan besar”.

Semua pesimisme ini disebabkan antara lain: self interest atau sikap yang mementingkan diri sendiri, tidak menghormati hukum, tidak disiplin, integritas, moral dan etika yang rendah di antara para pejabat dan mengesampingkan kepentingan bersama (common good).

Apabila situasi ini tidak mampu diatasi, maka kita benar-benar mengarah pada Gridlock (kemacetan) total dalam sistem politik, hukum, dan demokrasi.

Kalau sudah terjadi kemacetan total, tidak bisa kita bayangkan betapa hebatnya kemacetan itu dan akan mengarah pada “perubahan total”.

Kita tentu berharap pada pejabat-pejabat untuk sedikit “berbuat baik” demi Indonesia. Kita tidak ingin bangsa ini mengalami kemacetan dan stagnasi total, dengan catatan harus menemukan cara untuk keluar dari kemelut ini.

Jangan sampai rakyat disuguhi “omong kosong” menjelang pemilu, tetapi realitas setelah pemilu kondisi masih sama, bahkan bisa lebih buruk lagi.

Kita tidak ingin semua itu terjadi, maka kesadaran kita yang menuntun untuk membawa pada perubahan keadaan sehingga tidak macet total.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Momen Jokowi Bersimpuh Sambil Makan Pisang Saat Kunjungi Pasar di Sultra

Momen Jokowi Bersimpuh Sambil Makan Pisang Saat Kunjungi Pasar di Sultra

Nasional
Jokowi Jelaskan Alasan RI Masih Impor Beras dari Sejumlah Negara

Jokowi Jelaskan Alasan RI Masih Impor Beras dari Sejumlah Negara

Nasional
Kecelakaan Bus di Subang, Kompolnas Sebut PO Bus Bisa Kena Sanksi jika Terbukti Lakukan Kesalahan

Kecelakaan Bus di Subang, Kompolnas Sebut PO Bus Bisa Kena Sanksi jika Terbukti Lakukan Kesalahan

Nasional
Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Nasional
Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Nasional
Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Nasional
Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Nasional
KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Nasional
Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Nasional
Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com