Komika nasional sekaligus pesohor Marshel Widianto salah satunya. Dalam unggahan ke akun TikToknya yang memiliki 2,6 juta pengikut, ia menampilkan komentar salah satu akun palsu UNHCR Indonesia.
“Semoga rakyat Rohingya bisa di terima masyarakat Indonesia, dan pemerintah bisa berikan dia rumah, makan, dan tempat tinggal, dan buat KTP Indonesia,” tulis akun yang dianggap Marshel asli itu.
Dalam unggahan di akun @marshelwidianto itu, ia menambahkan “Menjajah jalur kekuasaan, menjajah jalur kasihan”.
Selain di TikTok, disinformasi mengenai Rohingya juga mewabah lintas platform digital. Beberapa disinformasi yang beredar adalah video unjuk rasa pengungsi Rohingya yang meminta tanah di Malaysia, berita perusakan rusun oleh pengungsi Rohingya, serta narasi bahwa UNHCR meminta pemerintah agar memberikan tanah kosong di Pulau Galang, e-KTP, tanah, rumah, dan makanan yang bergizi kepada pengungsi Rohingya.
Berbagai disinformasi yang disebarkan ini mudah diterima mengingat ketidaktahuan warganet terhadap latar belakang para pengungsi.
Maraknya narasi kebencian melalui kanal media sosial ini salah satunya disebabkan tidak adanya komitmen negara maupun platform digital untuk melindungi pengungsi.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki regulasi yang dapat mencegah tersebarnya disinformasi maupun ujaran kebencian berbasis SARA. Aturan-aturan itu tersebar dalam KUHP maupun UU ITE.
Berbagai peraturan ini sebenarnya bersifat eksesif, acap menjerat warga yang bersuara kritis. Namun, dalam kasus Rohingya, terlihat jelas peraturan ini seperti tidak ada. Tidak satupun penyebar ujaran kebencian yang diungkap.
Tahun 2022 lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) resmi menerapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5/2020 (Permenkominfo 5).
Salah satunya adalah kewenangan Kominfo untuk meminta platform digital memutus akses terhadap tiga jenis konten yang dilarang.
Konten-konten itu adalah konten yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, serta memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap dua jenis konten itu.
Hingga tulisan ini dibuat, berbagai akun palsu UNHCR masih mudah ditemui di TikTok. Berbagai disinformasi masih beredar luas di berbagai platform digital.
Tidak ada satu patah pernyataan pun dikeluarkan oleh Kemenkominfo dalam merespons carut marut ruang digital yang dipenuhi disinformasi dan hasutan kebencian terhadap etnis Rohingya.
Kominfo memang aktif melakukan pelurusan fakta melalui situs webnya. Namun, tidak ada keterangan yang diberikan tentang langkah-langkah apa yang dilakukan Kominfo untuk membasmi disinformasi dan ujaran kebencian ini dengan segala otoritas yang mereka miliki dalam Permenkominfo 5/2020.
Selain negara, platform digital juga memiliki peran krusial. Platform memiliki kemampuan untuk melakukan moderasi konten atau penyaringan konten.
Moderasi konten pada umumnya digunakan untuk menentukan konten mana yang boleh tampil dan konten mana yang tidak boleh tampil di platform digital.
Ketentuan-ketentuan ini biasanya tertulis dalam pedoman komunitas yang dimiliki oleh tiap platform. Baik Facebook, Instagram, TikTok, X, maupun YouTube memiliki pedoman komunitasnya masing-masing.
Namun, seluruhnya memiliki ketentuan melarang penyebaran konten yang berisi ujaran kebencian, hasutan kebencian, atau hasutan kekerasan. Seluruhnya juga punya kebijakan melarang konten yang bersifat pelecehan dan dehumanisasi.
Namun nyatanya konten-konten itu tetap ada. Terus beredar. Bahkan penyebarannya sangat masif, mencapai jutaan penonton. Jutaan penonton yang sebagian terpengaruh, terprovokasi, dan mendukung tindakan kekerasan terhadap Rohingya.
Padahal, platform digital juga tunduk terhadap "UN Guiding Principles on Business and Human Rights". Salah satu prinsipnya adalah “Perusahaan harus menghormati hak asasi manusia. Ini artinya mereka harus menghindari pelanggaran hak asasi manusia orang lain dan harus mengatasi dampak buruk hak asasi manusia yang melibatkan mereka”.
Kekerasan terhadap pengungsi Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak, secara tidak langsung disebabkan kampanye kebencian yang menyeruak di media sosial sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Kampanye kebencian terhadap pengungsi Rohingya yang berujung kekerasan sebenarnya bukanlah yang pertama.
Upaya genosida yang dilakukan militer Myanmar pada 2017 terhadap etnis Rohingya juga dipicu tersebarnya disinformasi dan narasi kebencian di Facebook yang menjadi media sosial paling populer di negara itu.