Amnesty International menyebutkan dalam salah satu laporannya, Facebook di Myanmar telah menjadi ruang gema bagi konten-konten anti-Rohingya.
Platform itu dibanjiri oleh aktor-aktor yang berkaitan dengan militer Myanmar dan kelompok nasionalis Buddha yang mengunggah disinformasi bahwa akan pengambilalihan kekuasaan oleh Muslim, dan menggambarkan Rohingya sebagai “penjajah”.
Salah satu disinformasi yang beredar luas adalah disinformasi yang disebarkan oleh Ashin Wirathu, biarawan garis keras berpengaruh.
Terlepas dari berbagai faktor lainnya, narasi kebencian yang tersebar melalui Facebook ini memicu terbunuhnya setidaknya 25.000 orang Rohingya (hingga 2018), terbakarnya banyak desa, diperkosanya puluhan ribu orang, dan setidaknya 700.000 orang pengungsi.
Pada saat yang sama, perusahaan media sosial justru menikmati profit berupa traffic dan data pengguna yang terus mengalir ke platformnya.
Traffic dan data pengguna ini yang kemudian digunakan sebagai penarik pengiklan maupun agen periklanan yang menginginkan jasa iklan bertarget (targeting ads).
Untuk mengatasi persoalan ini, negara dan platform digital harus bertanggung jawab. Langkah-langkah nyata, baik yang bersifat reaktif maupun preventif harus diambil.
Pertama, Kemenkominfo harus menyatakan dan melaksanakan komitmen memerangi disinformasi dan narasi kebencian kepada pengungsi Rohingya.
Universalitas HAM mewajibkan negara untuk melindungi HAM semua orang yang ada di dalam teritorinya, termasuk di ruang digital.
Upaya-upaya fact checking yang dilakukan Kemenkominfo dapat terus dilanjutkan, sembari melakukan eskalasi komunikasi dengan platform digital untuk mengambil langkah nyata moderasi konten.
Investigasi dan penelusuran juga perlu dilakukan, jika perlu bekerja sama dengan ahli independen, untuk melacak asal muasal kampanye kebencian ini dan motif sang “dalang”.
Kedua, platform digital harus secara terbuka mengakui dan meminta maaf atas kegagalan moderasi konten mereka dalam mencegah disinformasi dan narasi kebencian yang berujung kekerasan.
Lebih dari itu, platform digital juga harus memulihkan dan mengganti kerugian-kerugian materiil maupun immateriil yang dialami oleh para pengungsi.
Ketiga, platform digital harus mengambil langkah-langkah moderasi konten yang jelas dan tegas terhadap disinformasi dan narasi kebencian kepada pengungsi.
Disinformasi dan narasi kebencian kepada pengungsi Rohingya relatif baru di Indonesia. Untuk itu, platform digital dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil yang menggeluti isu pengungsi agar lebih memahami konteks lokal.
Platform digital dapat menggunakan six part threshold test dalam Rabat Plan of Action sebagai tolok ukur moderasi konten. Pengguna konten yang sangat berbahaya dapat diblokir atau kontennya dihapus.
Konten kebencian yang menjangkau banyak orang dapat didemonetisasi. Konten yang dianggap masih abu-abu dapat di-delisting atau di-downranking.
Keempat, platform digital juga harus memperhatikan algoritma mereka untuk memecahkan echo-chamber. Konten-konten yang bermuatan pelurusan fakta dan pesan-pesan damai harus dipromosikan untuk meningkatkan pemahaman warganet.
Terakhir, mengingat saat ini Indonesia sedang dalam masa kampanye pemilu, isu Rohingya sangat rawan dipolitisasi.
Maka, penting bagi Bawaslu untuk memastikan tim pemantau pemilunya memiliki sensitivitas dan kepekaan atas kampanye-kampanye yang berpotensi mengeksploitasi isu pengungsi dengan mengeluarkan disinformasi maupun narasi kebencian.
Peraturan KPU No. 15 tahun 2023 telah melarang seluruh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, maupun tim pemenangan untuk menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu lain.
Mengingat Rohingya bukan etnis asli Indonesia, perlu sensitivitas agar penghinaan terhadap etnis ini dapat dipantau dengan baik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.