Namun ketika debat merangsek ke media sosial, tayangannya tidak lagi utuh, ia hanya berupa remah-remah yang telah dipilah dan di-frame untuk kepentingan tim kampanye.
Masalahnya minimnya penonton, terkait kebijakan yang belum mengarus utamakan penetrasi debat sebagai agenda utama nasional. Frekuensi publik wajib dimaksimalkan, setidaknya selama dua jam saja saat debat, untuk memperluas jangkauan pemirsa.
Maka hemat penulis, jika jangkauan debat meningkat, ditambah format debat lebih interaktif untuk para kandidat dan panelis saling menguji program, mempertanyakan track record hingga kompetensi secara mendalam, maka prefensi publik dalam menilai, dan mengubah arah dukungan dapat terbuka.
Dengan demikian, arah debat tidak sekadar jadi ajang menggugurkan kewajiban peserta pemilu, namun ruang temu, pikiran, gagasan, dan komitmen memimpin.
Riset membuktikan persuasif kandidat lewat debat, memungkinkan menyasar kelompok yang menanti dinamika isu dengan tawaran gagasan dan program.
Namun setidaknya para kandidat perlu menyiapkan dua aspek untuk memenangkan simpati publik.
Pertama aspek pesan, yaitu tidak sekadar gaya bicara, memilih diksi yang tepat, namun perlu mengekstraksi gagasan dalam membangun aspek memoria yang ringan, namun kuat untuk diingat khalayak.
Pesan itu harus memiliki koherensi, di mana pesannya harus runtut dan konsisten, tidak hanya saat debat, namun antara pesan dalam debat dan pesan kandidat pada masa sebelum debat.
Pesan kandidat juga harus merepresentasikan rasionalitas publik, tidak bersembunyi di pesan-pesan populis yang manis didengar, tetapi belum tentu mudah diaplikasikan. Juga pesan kampanye harus akurat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Aspek kedua selain pesan adalah teknik penyampaian, seperti teknis persuasi, intonasi, ekspresi kontak mata, menajemen forum untuk menyampaikan, termasuk di dalam gestur menyapa dan penggunaan durasi waktu yang terbatas, wajib dipertimbangkan semua kandidat dalam memboboti kualitas debatnya.
Terlepas semua rekomendasi itu, panggung debat adalah momentum tidak hanya memperkenalkan kandidat dan gagasannya, namun harus menjelma menjadi kontrak dan ikrar komitmen politik pasangan calon, yang dapat ditagih kemudian hari.
Rasionalitas publik juga dituntut hadir untuk mengembangkan apa yang sebut “fact checking” untuk menguji kembali apakah gagasan kandidat telah sesuai dengan fakta, data, dan bukan sentimen personal kandidat semata.
Dengan tersisa tiga debat pilpres kedepan, pemilih diharapkan tidak loncat tahap komunikasi. Dalam debat semestinya dimaknai sebagai fase "brainstorming", yaitu membincangkan semua atribusi kandidat, melihat kandidat sebagai daftar menu, sajian tersaji lengkap dengan kandungan bumbu-bumbunya.
Penting untuk khalayak menunda keyakinan hingga memiliki keyakinan utuh tentang kandidat.
Setelah itu masuk ke fase "consolidation", publik ikut terlibat untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pemilu.
Terakhir apapun hasilnya, ketiga paslon capres-cawapres adalah putra-putra terbaik yang memiliki kapasitas memimpin sehingga harus diberikan kepercayaan.
Dan kita semua masuk di fase "reconciliation". Penyatuan nasional untuk memastikan kapal besar Indonesia, mengarungi samudera kemajuan, sebagai bangsa Besar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.