BAK "Kuda Troya" dalam mitologi Yunani, kuda kayu raksasa yang ditempatkan di luar tembok Kota Troya itu, dianggap sebagai simbol kekalahan, kuda itupun dicemo’oh dan diarak masuk ke dalam kota, ke dalam benteng pasukan Troya yang merasa paling superior.
Ibarat mitologi itu, tak disangka Gibran Rakabumung Raka yang berada dalam Kuda troya merangsek keluar.
Satu keberuntungan Gibran sang "Kuda Troya", karena sedari awal dianggap inferior dibandingkan dua kompetitornya, Muhaimin Iskandar karena jam terbangnya sebagai politisi kawakan, ataupun Prof Muhammad Mahfud MD yang dianggap paripurna karena pernah menyambet jabatan prestisius di tiga rumpun "trias politica" sekaligus (sebagai menteri, hakim MK, dan anggota DPR).
Sedangkan Gibran meski punya sederet prestasi sebagai kepala daerah tetap dianggap underdog untuk dunia perdebatan politik. Semua underestimated, istilah "belimbing Sayur", "Samsul", "bocah ingusan" disematkan untuknya. Namun di momen Debat perdana Cawapres, Gibran tampil mengejutkan.
Setelah tiga menit pertama membuka debat, terasa Gibran sebagai sosok lain yang visioner. Penyampaiannya memiliki unsur teknokratik yang menguasai tema perdebatan, pembedaharaan diksinya memadai, responsif.
Pada menit-menit berikut, juga mulus memaparkan program, atau sekadar melempar dan menangkis pertanyaan-pertanyaan "jebakan batman".
Debat Cawapres telah membalikkan 180 derajat tanggapan publik tentang Gibran yang menempatkannya sebagai tokoh nasional, yang terkesan solutif, otoritatif, dan tak kalah piawai meski harus vis a vis dengan seorang profesor dan ketua umum partai yang bertahta hampir 20 tahun.
Di dapur riset kualitatif LSI Denny Ja, Tim LSI mencoba mengulik efek debat cawapres, menggunakan panel eksperimen sebelum dan pascadebat.
Jawaban partisipan beragam terkait substansi dan gaya bahasa masing-masing kandidat.
Namun menyoal siapakah pemenang debat, semua surprisely. Tabulasi data menempatkan Gibran paling unggul, bahkan di empat kelompok eksperimen berbeda, yaitu di mereka yang netral maupun pendukung paslon satu, paslon tiga, dan tentu saja paslon dua.
Meski di sesi pemilih kelas menengah atas secara objektif mengakui keunggulan debat Gibran, namun kecil yang mau mengubah pilihan pascamenonton debat.
Berbeda dengan mereka kelas menengah atau menengah bawah, di semua kelompok eksperimen, mereka cenderung terbuka memilih kemungkinan untuk mengubah sikap politiknya.
Temuan ini sekaligus menjadi antitesa riset Mckinney dan Warner bahwa debat hanya berpengaruh di kalangan undecided voters (pemilih yang belum memutuskan pilihan) saja.
Sedangkan temuan kualitatif di atas membuktikan, khususnya di pemilih kelas menengah dan menengah bawah, besar mempertimbangkan debat sebagai kanal, yang tidak hanya menebalkan iman politinya, melainkan sebagai pintu migrasi suara, bagi pemilih lemah, atau mengambang (swing voters) masing-masing kandidat.
Namun problematiknya, penetrasi penonton debat masih kecil, meski terbantu dengan aneka duplikasi di media sosial.
Namun ketika debat merangsek ke media sosial, tayangannya tidak lagi utuh, ia hanya berupa remah-remah yang telah dipilah dan di-frame untuk kepentingan tim kampanye.
Masalahnya minimnya penonton, terkait kebijakan yang belum mengarus utamakan penetrasi debat sebagai agenda utama nasional. Frekuensi publik wajib dimaksimalkan, setidaknya selama dua jam saja saat debat, untuk memperluas jangkauan pemirsa.
Maka hemat penulis, jika jangkauan debat meningkat, ditambah format debat lebih interaktif untuk para kandidat dan panelis saling menguji program, mempertanyakan track record hingga kompetensi secara mendalam, maka prefensi publik dalam menilai, dan mengubah arah dukungan dapat terbuka.
Dengan demikian, arah debat tidak sekadar jadi ajang menggugurkan kewajiban peserta pemilu, namun ruang temu, pikiran, gagasan, dan komitmen memimpin.
Riset membuktikan persuasif kandidat lewat debat, memungkinkan menyasar kelompok yang menanti dinamika isu dengan tawaran gagasan dan program.
Namun setidaknya para kandidat perlu menyiapkan dua aspek untuk memenangkan simpati publik.
Pertama aspek pesan, yaitu tidak sekadar gaya bicara, memilih diksi yang tepat, namun perlu mengekstraksi gagasan dalam membangun aspek memoria yang ringan, namun kuat untuk diingat khalayak.
Pesan itu harus memiliki koherensi, di mana pesannya harus runtut dan konsisten, tidak hanya saat debat, namun antara pesan dalam debat dan pesan kandidat pada masa sebelum debat.
Pesan kandidat juga harus merepresentasikan rasionalitas publik, tidak bersembunyi di pesan-pesan populis yang manis didengar, tetapi belum tentu mudah diaplikasikan. Juga pesan kampanye harus akurat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Aspek kedua selain pesan adalah teknik penyampaian, seperti teknis persuasi, intonasi, ekspresi kontak mata, menajemen forum untuk menyampaikan, termasuk di dalam gestur menyapa dan penggunaan durasi waktu yang terbatas, wajib dipertimbangkan semua kandidat dalam memboboti kualitas debatnya.
Terlepas semua rekomendasi itu, panggung debat adalah momentum tidak hanya memperkenalkan kandidat dan gagasannya, namun harus menjelma menjadi kontrak dan ikrar komitmen politik pasangan calon, yang dapat ditagih kemudian hari.
Rasionalitas publik juga dituntut hadir untuk mengembangkan apa yang sebut “fact checking” untuk menguji kembali apakah gagasan kandidat telah sesuai dengan fakta, data, dan bukan sentimen personal kandidat semata.
Dengan tersisa tiga debat pilpres kedepan, pemilih diharapkan tidak loncat tahap komunikasi. Dalam debat semestinya dimaknai sebagai fase "brainstorming", yaitu membincangkan semua atribusi kandidat, melihat kandidat sebagai daftar menu, sajian tersaji lengkap dengan kandungan bumbu-bumbunya.
Penting untuk khalayak menunda keyakinan hingga memiliki keyakinan utuh tentang kandidat.
Setelah itu masuk ke fase "consolidation", publik ikut terlibat untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pemilu.
Terakhir apapun hasilnya, ketiga paslon capres-cawapres adalah putra-putra terbaik yang memiliki kapasitas memimpin sehingga harus diberikan kepercayaan.
Dan kita semua masuk di fase "reconciliation". Penyatuan nasional untuk memastikan kapal besar Indonesia, mengarungi samudera kemajuan, sebagai bangsa Besar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.