Pada LTKM nonbank, uang hasil tindak pidana lingkungan hidup juga naik. Pada 2021, tercatat 49 LTKM nonbank dengan nominal Rp 145,3 miliar. Pada 2022, jumlahnya menjadi 160 LTKM non-bank dengan nominal Rp 184,3 miliar.
"Luar biasa terkait GFC (green financial crime) ini. Ada yang mencapai Rp 1 triliun (untuk) satu kasus dan itu alirannya ke mana, ada yang ke anggota parpol," ujar Danang kala itu.
Danang juga mengungkapkan, kejahatan lingkungan seperti itu, dengan aliran dana semacam ini, tidak dilakukan aktor independen.
"Ini bahwa sudah mulai dari sekarang persiapan dalam rangka 2024 itu sudah terjadi," katanya.
Namun, PPATK tak asal menduga aliran dana kejahatan lingkungan itu akan digunakan untuk pemilu.
Menurut PPATK, aliran dana dari kejahatan lingkungan untuk kepentingan pemilu bukan baru kali ini terendus, tetapi sudah terbukti lewat pengalaman-pengalaman sebelumnya dan dilihat bahwa ada kecenderungan yang sama saat ini.
Baca juga: Eks Kepala PPATK Ungkap Modus Janggal Jelang Pemilu, Termasuk Memecah-mecah Transaksi
Beberapa transaksi yang dipantau PPATK melibatkan pihak-pihak yang menjadi terdakwa dalam skema tindakan kejahatan lingkungan.
"Begitu kita lihat aliran transaksinya, itu terkait dengan pihak-pihak tertentu yang secara kebetulan mengikuti kontestasi politik," kata Ivan pada Januari lalu.
"Dan itu yang kemudian, berdasarkan aliran dana, kita sebutkan bahwa ada upaya pembiayaan yang diperoleh dari tindak pidana," ujarnya lagi.
Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sedikitnya masih terdapat sekitar 2.741 tambang ilegal tersebar di 28 provinsi per 2022, melibatkan 3,7 juta pekerja.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menyebut bahwa maraknya operasi tambang illegal, hingga dugaan uangnya mengalir ke partai politik dan kontestan Pemilu 2024, tak dapat dilepaskan dari loyonya penegakan hukum.
Baca juga: KPU Sebut PPATK Laporkan soal Transaksi Ratusan Miliar Rupiah dari Rekening Bendahara Parpol
Menurutnya, aparat penegak hukum justru menjelma menjadi salah satu pemain kunci tambang illegal.
"Sejumlah contoh nyata ihwal keterlibatan aparat keamanan itu, tercermin dari kasus yang menjerat Briptu Hasbudi di Sekatak Buji, Bulungan, Kaltara (Kalimantan Utara) yang terlibat bisnis tambang emas ilegal. Atau anggota polisi yang diduga terlibat menambang timah ilegal di Perairan Teluk Kelabat, Belinyu, Bangka Belitung," kata Melky dalam keterangan resmi Jatam yang dikutip pada 20 Desember 2023.
Keterlibatan langsung aparat dalam tambang ilegal juga terkuak dalam perkara mantan anggota Satintelkam Polresta Samarinda, Ismail Bolong, yang terlibat penambangan illegal di lahan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) milik PT Santan Batubara.
Di sisi lain, para "pemain" tambang ilegal juga diduga terafiliasi dengan partai politik.
Jatam mengambil contoh operasi sebuah perusahaan tambang nikel di Desa Morombo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara yang disebut tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), meski mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 1.056 hektar sampai 2034.
Nama-nama pemilik perusahaan tersebut tak asing dengan dunia politik. Ada pendiri salah satu partai besar di parlemen yang anaknya kini duduk di Senayan. Muncul pula nama eks ketua dewan pimpinan daerah (DPD) suatu partai politik di Kolaka Timur, yang kini dikabarkan membesut organisasi relawan pendukung salah satu capres pada Pilpres 2024.
Baca juga: Dana Awal Kampanye Ganjar-Mahfud Rp 23,3 Miliar, Ketua TPN Sebut Hasil Gotong Royong
Sayangnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyatakan tak bisa menindaklanjuti temuan PPATK.
Apalagai, data PPATK itu disebut bersifat "sangat rahasia" dan tidak bisa menjadi alat bukti dalam penegakan hukum yang dilakukan Bawaslu.
Dalam jumpa pers pada Selasa, 19 Desember 2023, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengklaim bahwa sesuai UU Pemilu, pihaknya hanya berwenang mengawasi dana kampanye. Dana kampanye itu secara normatif merujuk pada dana yang bergerak di dalam RKDK.
Bawaslu RI tak menutup kemungkinan sumbangan yang diterima peserta pemilu sebetulnya melampaui batas tetapi hanya dicatat sejumlah nilai yang dibolehkan UU Pemilu dalam laporan dana kampanye.
"Bisa jadi, kan kalau seperti itu Bawaslu enggak bisa paksa-paksa orang," kata Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI, Lolly Suhenty, Selasa.
Baca juga: Dana Awal Kampanye Paling Sedikit, Anies Mengaku Sudah Paceklik Setahun
Bawaslu hanya mewanti-wanti para peserta pemilu supaya membuat laporan dana kampanye yang akuntabel, begitu pula arus lalu lintas transaksi keuangan dalam RKDK.