Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/12/2023, 06:21 WIB
Vitorio Mantalean,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembiayaan kampanye pemilihan umum (Pemilu) 2024 diprediksi masih menghadapi masalah klasik, berkaitan dengan dana-dana gelap yang mengucur tanpa tercatat sebagai dana kampanye resmi.

Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mewajibkan seluruh peserta pemilu membuat Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) sebagai wadah khusus pembiayaan kampanye.

Terdapat indikasi awal bahwa jumlah yang dilaporkan secara resmi ke KPU tidak sebanding dengan gelontoran duit yang sudah beredar untuk kampanye.

Pakar menilai bahwa sistem pemilu di Indonesia memang tidak mendukung tata kelola dana kampanye yang bertanggung jawab.

Baca juga: KPK Dalami Laporan PPATK soal Transaksi Janggal Dana Kampanye

Sudah jor-joran di medsos, laporan nihil

Pemantauan ongkos iklan politik seluruh pasangan capres-cawapres hanya pada platform media sosial berbasis Meta saja sudah jauh lebih besar dibandingkan laporan pengeluaran dana kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Hal ini ditemukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan membandingkan laporan dana kampanye yang diunggah KPU RI dalam Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka) dengan data open source Meta Ad Library yang dapat diakses publik.

Pengamatan Perludem ini dilakukan pada periode 16 November hingga 25 Desember 2023 dengan memasukkan kata kunci seputar nama capres-cawapres ke Meta Ad Library.

Hasilnya, ditemukan 15 akun pengiklan yang mengampanyekan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan total pembiayaan sekitar Rp 444.345.531.

Baca juga: Berapa Dana Kampanye Anies, Prabowo, dan Ganjar?

Capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tercatat dikampanyekan 33 akun di Meta dengan total pembiayaan hampir Rp 778.930.409.

Sementara itu, capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dikampanyekan oleh 87 akun pengiklan di Meta dengan ongkos Rp Rp 829.163.419.

Perludem mengungkapkan, mayoritas iklan politik itu bersumber dari akun pendukung atau relawan yang semestinya dikategorikan sebagai sumbangan dalam laporan dana kampanye yang diberikan ke KPU RI.

"Dalam hal ini, yang beriklan di dalam media sosial tersebut ternyata banyak juga akun-akun pendukung. Bukan akun pribadi masing-masing paslon, tapi akun pendukung," kata peneliti Perludem, Heroik Pratama, dalam rilis hasil penelitian mereka pada Rabu, 20 Desember 2023.

Baca juga: Dana Awal Kampanye Capres-Cawapres 2024, Prabowo-Gibran Paling Besar

Namun demikian, dalam Sikadeka KPU RI yang memuat update berkala data bergerak soal pemasukan, sumbangan, dan pengeluaran dana kampanye capres-cawapres, tak satu pun pasangan calon melaporkan pengeluaran ratusan juta rupiah hasil sumbangan untuk kampanye di media sosial.

Di dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) yang diserahkan masing-masing kubu per 27 November 2023 ke KPU RI, pengeluaran untuk iklan dan kampanye juga nihil.

Padahal, baliho para capres-cawapres bertebaran di jalan dan iklan-iklan politik di platform Meta sudah bertebaran ketika itu.

PPATK cium kejanggalan

Pembiayaan kampanye di luar rekening resmi juga tercium dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait peningkatan transaksi mencurigakan jelang Pemilu 2024.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa indikasi transaksi mencurigakan muncul dari kejanggalan aktivitas RKDK yang cenderung tak bergerak.

Logikanya, dengan kegiatan kampanye yang semakin intens, arus transaksi di RKDK seharusnya "sibuk" karena uang yang tersimpan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan.

Baca juga: Saat 3 Kubu Capres-Cawapres Bicara soal Transaksi Janggal Dana Kampanye Temuan PPATK...

Namun, pergerakan uang justru diduga terjadi pada rekening-rekening bendahara partai politik dengan nominal yang disebut lebih dari setengah triliun rupiah.

"Semua sudah kita lihat. Semua sudah diinformasikan ke KPU dan Bawaslu. Kita masih menunggu, ini kan kita bicara triliunan," kata Ivan di sela-sela acara Diseminasi PPATK, Jakarta pada 14 Desember 2023.

Jauh sebelum itu, pada Rapat Koordinasi Tahunan PPATK, 19 Januari 2023 lalu, Ivan telah mengungkit bahwa PPATK mengendus dugaan aliran dana jumbo hasil kejahatan lingkungan seperti tambang ilegal dan tindak pidana lain mengalir ke partai politik yang ditengarai untuk kepentingan elektoral.

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono memaparkan, pada 2021, Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dalam kategori itu meningkat dari 60 LTKM bank menjadi 191 LTKM bank pada 2022.

Nominalnya juga membengkak signifikan, dari Rp 883,2 miliar pada 2021 tiba-tiba meroket ke angka Rp 3,8 triliun pada 2022.

Baca juga: PPATK Temukan Transaksi Janggal untuk Kampanye, Jokowi: Pasti Ada Proses Hukum

Pada LTKM nonbank, uang hasil tindak pidana lingkungan hidup juga naik. Pada 2021, tercatat 49 LTKM nonbank dengan nominal Rp 145,3 miliar. Pada 2022, jumlahnya menjadi 160 LTKM non-bank dengan nominal Rp 184,3 miliar.

"Luar biasa terkait GFC (green financial crime) ini. Ada yang mencapai Rp 1 triliun (untuk) satu kasus dan itu alirannya ke mana, ada yang ke anggota parpol," ujar Danang kala itu.

Danang juga mengungkapkan, kejahatan lingkungan seperti itu, dengan aliran dana semacam ini, tidak dilakukan aktor independen.

"Ini bahwa sudah mulai dari sekarang persiapan dalam rangka 2024 itu sudah terjadi," katanya.

Namun, PPATK tak asal menduga aliran dana kejahatan lingkungan itu akan digunakan untuk pemilu.

Menurut PPATK, aliran dana dari kejahatan lingkungan untuk kepentingan pemilu bukan baru kali ini terendus, tetapi sudah terbukti lewat pengalaman-pengalaman sebelumnya dan dilihat bahwa ada kecenderungan yang sama saat ini.

Baca juga: Eks Kepala PPATK Ungkap Modus Janggal Jelang Pemilu, Termasuk Memecah-mecah Transaksi

Tambang ilegal dan afiliasi kekuasaan

Beberapa transaksi yang dipantau PPATK melibatkan pihak-pihak yang menjadi terdakwa dalam skema tindakan kejahatan lingkungan.

"Begitu kita lihat aliran transaksinya, itu terkait dengan pihak-pihak tertentu yang secara kebetulan mengikuti kontestasi politik," kata Ivan pada Januari lalu.

"Dan itu yang kemudian, berdasarkan aliran dana, kita sebutkan bahwa ada upaya pembiayaan yang diperoleh dari tindak pidana," ujarnya lagi.

Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sedikitnya masih terdapat sekitar 2.741 tambang ilegal tersebar di 28 provinsi per 2022, melibatkan 3,7 juta pekerja.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menyebut bahwa maraknya operasi tambang illegal, hingga dugaan uangnya mengalir ke partai politik dan kontestan Pemilu 2024, tak dapat dilepaskan dari loyonya penegakan hukum.

Baca juga: KPU Sebut PPATK Laporkan soal Transaksi Ratusan Miliar Rupiah dari Rekening Bendahara Parpol

Menurutnya, aparat penegak hukum justru menjelma menjadi salah satu pemain kunci tambang illegal.

"Sejumlah contoh nyata ihwal keterlibatan aparat keamanan itu, tercermin dari kasus yang menjerat Briptu Hasbudi di Sekatak Buji, Bulungan, Kaltara (Kalimantan Utara) yang terlibat bisnis tambang emas ilegal. Atau anggota polisi yang diduga terlibat menambang timah ilegal di Perairan Teluk Kelabat, Belinyu, Bangka Belitung," kata Melky dalam keterangan resmi Jatam yang dikutip pada 20 Desember 2023.

Keterlibatan langsung aparat dalam tambang ilegal juga terkuak dalam perkara mantan anggota Satintelkam Polresta Samarinda, Ismail Bolong, yang terlibat penambangan illegal di lahan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) milik PT Santan Batubara.

Di sisi lain, para "pemain" tambang ilegal juga diduga terafiliasi dengan partai politik.

Jatam mengambil contoh operasi sebuah perusahaan tambang nikel di Desa Morombo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara yang disebut tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), meski mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 1.056 hektar sampai 2034.

Nama-nama pemilik perusahaan tersebut tak asing dengan dunia politik. Ada pendiri salah satu partai besar di parlemen yang anaknya kini duduk di Senayan. Muncul pula nama eks ketua dewan pimpinan daerah (DPD) suatu partai politik di Kolaka Timur, yang kini dikabarkan membesut organisasi relawan pendukung salah satu capres pada Pilpres 2024.

Baca juga: Dana Awal Kampanye Ganjar-Mahfud Rp 23,3 Miliar, Ketua TPN Sebut Hasil Gotong Royong

Ilustrasi politik uang.KOMPAS.com Ilustrasi politik uang.

Sulit memaksa kepatuhan peserta pemilu

Sayangnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyatakan tak bisa menindaklanjuti temuan PPATK.

Apalagai, data PPATK itu disebut bersifat "sangat rahasia" dan tidak bisa menjadi alat bukti dalam penegakan hukum yang dilakukan Bawaslu.

Dalam jumpa pers pada Selasa, 19 Desember 2023, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengklaim bahwa sesuai UU Pemilu, pihaknya hanya berwenang mengawasi dana kampanye. Dana kampanye itu secara normatif merujuk pada dana yang bergerak di dalam RKDK.

Bawaslu RI tak menutup kemungkinan sumbangan yang diterima peserta pemilu sebetulnya melampaui batas tetapi hanya dicatat sejumlah nilai yang dibolehkan UU Pemilu dalam laporan dana kampanye.

"Bisa jadi, kan kalau seperti itu Bawaslu enggak bisa paksa-paksa orang," kata Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI, Lolly Suhenty, Selasa.

Baca juga: Dana Awal Kampanye Paling Sedikit, Anies Mengaku Sudah Paceklik Setahun

Bawaslu hanya mewanti-wanti para peserta pemilu supaya membuat laporan dana kampanye yang akuntabel, begitu pula arus lalu lintas transaksi keuangan dalam RKDK.

Lolly memberi contoh, UU Pemilu mengatur bahwa sumbangan dana kampanye capres-cawapres dari perseorangan maksimal Rp 2,5 miliar dan dari kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah paling banyak Rp 25 miliar.

Sementara itu, temuan PPATK diklaim akan dipakai sebagai data pembanding RKDK untuk menilai ketepatan jumlah dana kampanye serta memastikan dana itu tidak berasal dari sumber yang dilarang, seperti pihak asing, pihak tak beridentitas jelas, dan tindak pidana.

Terkait penindakan, Lolly mengatakan, Bawaslu harus menunggu laporan dana kampanye diaudit oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU maksimum 15 hari setelah pemungutan suara. Sebagaimana amanat dalam UU Pemilu.

Namun, ironisnya, UU Pemilu hanya mengatur konsekuensi pidana bagi calon anggota legislatif (caleg) yang tidak menyampaikan laporan dana kampanye sesuai ketentuan untuk diaudit.

Dengan kata lain, tidak ada konsekuensi pidana yang sama untuk pasangan capres-cawapres.

Baca juga: Dana Awal Kampanye Prabowo-Gibran Rp 31,4 Miliar, Mayoritas Sumbangan Jasa Parpol

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.

Sistem yang tidak mendukung

Audit laporan dana kampanye seakan-akan dapat mengungkap kewajaran pembiayaan kampanye. Padahal, hal ini dinilai masih jauh panggang dari api.

Walau isinya bersifat merinci, tetapi model audit yang diatur Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 cenderung bersifat administratif: apakah tepat waktu dan sesuai format, nominalnya sesuai aturan atau tidak, serta apakah rincian pengeluarannya dilengkapi dengan bukti.

Model ini dianggap sangat sulit mengungkap penyimpangan dalam tata kelola dan arus transaksi sumber dana kampanye yang menggurita.

"Jika basisnya hanya mendasarkan pada pengawasan atas rekening resmi peserta pemilu, tentu setiap pelanggaran yang terjadi tidak akan pernah bisa terungkap. Sebab, pelanggaran yang dilakukan itu menggunakan rekening di luar rekening resmi peserta pemilu," ujar pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini pada Kamis (21/12/2023).

Baca juga: Bawaslu soal Temuan PPATK: Bukan Kewenangan Kami

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menyebut bahwa mereka tidak berwenang mengurusi sumber pembiayaan kampanye dari rekening di luar RKDK. Ia juga menyerahkan kewajaran RKDK kepada proses audit.

"Dan soal kepatuhan menggunakan rekening, besaran yang dibatasi, termasuk sumbernya dari mana, itu akan ketahuan setelah dilakukan audit terhadap laporan dana kampanye yang diserahkan peserta pemilu kepada KPU," ujar Hasyim, Kamis.

Situasi ini menjadi masalah klasik yang sudah langgeng dari pemilu ke pemilu.

"Pengaturan dan desain pelaporan dana kampanye di Indonesia memang dibuat tidak serius. Bisa dibilang memang tidak dimaksudkan untuk mampu mewujudkan pengelolaan dana kampanye yang transparan dan akuntabel," kata Titi.

Baca juga: Cek Indikasi Transaksi Janggal Pemilu, Bawaslu: Jika Ada Kami Teruskan ke Penegak Hukum

Ia mendorong Bawaslu agar mengintensifkan kerja sama dengan PPATK hingga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan platform-platform media sosial untuk menemukan informasi awal pembiayaan kampanye dan iklan politik secara tak wajar di luar RKDK.

Tanpa kolaborasi, menurut Titi, butuh kinerja ekstra bagi Bawaslu untuk melakukannya. Padahal, lembaga tersebut kehilangan 7.000 pegawai non-ASN (Aparatur Sipil Negara) yang purna tugas imbas penghapusan pekerja honorer oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir tahun ini.

Bawaslu, misalnya, harus mengerahkan seluruh jajaran mengawasi setiap aktivitas kampanye peserta pemilu, termasuk caleg yang jumlahnya puluhan ribu, menghitung proyeksi belanja setiap kegiatan kampanye peserta pemilu, lantas mengujinya dengan laporan yang disetor ke KPU RI.

Baca juga: MAKI Laporkan Dugaan Aliran Dana Tambang Ilegal Rp 400 Miliar untuk Kampanye ke KPK

Pada akhirnya, ongkos politik yang melangit dan dibiarkan tak terpantau akan merusak proses dan hasil pemilu. Kekuatan uang merusak kompetisi yang sehat antarpeserta pemilu, bahkan memicu fenomena jual-beli suara.

Dana-dana gelap bernilai jumbo pada akhirnya menyandera pejabat terpilih untuk hanya sibuk mencari cara agar "balik modal" atau menyiapkan "balas budi" sebagai timbal balik pendanaan kampanye melalui penyusunan kebijakan yang menguntungkan si donor.

Titi mengingatkan kembali mengapa laporan dana kampanye dan batasan sumbangan adalah hal yang penting untuk diatur dan ditaati dalam helatan pemilu.

"Untuk mencegah benturan kepentingan atau praktik koruptif di masa depan saat mereka menjabat, maka sumbangan atau donasi tersebut harus tercatat, dilaporkan, diaudit, dan dibuka kepada publik," ujarnya.

"Agar publik bisa ikut memeriksa korelasi antara sumbangan dana kampanye yang diterima saat menjadi peserta pemilu dengan insentif kebijakan setelah mereka terpilih," kata Titi melanjutkan.

Baca juga: KPK Dalami Laporan PPATK soal Transaksi Janggal Dana Kampanye

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Nasional
KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Nasional
Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Nasional
Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Nasional
Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi 'King Maker' atau Maju Lagi

Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi "King Maker" atau Maju Lagi

Nasional
Diresmikan Presiden Jokowi, IDTH Jadi Laboratorium Pengujian Perangkat Digital Terbesar dan Terlengkap Se-Asia Tenggara

Diresmikan Presiden Jokowi, IDTH Jadi Laboratorium Pengujian Perangkat Digital Terbesar dan Terlengkap Se-Asia Tenggara

Nasional
Hujan Lebat yang Bawa Material Vulkanis Gunung Marapi Perparah Banjir di Sebagian Sumbar

Hujan Lebat yang Bawa Material Vulkanis Gunung Marapi Perparah Banjir di Sebagian Sumbar

Nasional
Pemerintah Saudi Tambah Layanan 'Fast Track' Jemaah Haji Indonesia

Pemerintah Saudi Tambah Layanan "Fast Track" Jemaah Haji Indonesia

Nasional
Banjir Luluh Lantakkan Sebagian Sumatera Barat, Lebih dari 40 Orang Tewas

Banjir Luluh Lantakkan Sebagian Sumatera Barat, Lebih dari 40 Orang Tewas

Nasional
Berkaca Kecelakaan di Ciater, Polisi Imbau Masyarakat Cek Dulu Izin dan Kondisi Bus Pariwisata

Berkaca Kecelakaan di Ciater, Polisi Imbau Masyarakat Cek Dulu Izin dan Kondisi Bus Pariwisata

Nasional
Dugaan SYL Memeras Anak Buah dan Upaya KPK Hadirkan 3 Dirjen Kementan Jadi Saksi

Dugaan SYL Memeras Anak Buah dan Upaya KPK Hadirkan 3 Dirjen Kementan Jadi Saksi

Nasional
Jokowi Santap Nasi Goreng dan Sapa Warga di Sultra

Jokowi Santap Nasi Goreng dan Sapa Warga di Sultra

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com