Sedangkan Gibran sekalipun sedang atau pernah menjadi wali kota dan berpengalaman ikut dalam sesi debat calon kepala daerah, tapi harus diakui itu belum bisa menjadi ukuran bila di pentas nasional.
Boleh disebut belum teruji, apalagi Gibran diketahui kerap tak mau hadiri undangan debat dengan berbagai alasan, tentu saja memperkuat keraguan publik.
Namun yang perlu dicatat adalah, debat perdana cawapres ini akan mengangkat tema, ekonomi, keuangan, investasi pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, infrastruktur, dan perkotaan. Hal yang dapat menjadi kekuatan komparatif Gibran.
Sebab tema atau isu yang akan dibahas cukup lekat dengan aktivitas sehari-hari Gibran sebagai seorang wali kota. Gibran punya pengalaman cukup memadai, termasuk dalam pengambilan kebijakan terkait isu-isu tersebut, meski skalanya lebih kecil.
Artinya, sebagai Wali Kota Solo, Gibran sejatinya sudah terbiasa berhadapan dengan tema yang mau didebatkan. Tinggal bagaimana ia mempu atau tidak untuk menyelaraskan dengan skala dan proyeksi di level nasional, kemudian menjelaskannya dengan baik.
Dalam konteks ini, sekalipun Cak Imin dan Prof Mahfud jauh lebih lama dan berpengalaman di pemerintahan, tapi untuk soal-soal yang akan diperdebatkan dalam debat perdana cawapres merupakan isu yang lebih koheren dengan Gibran.
Apa lagi bila Gibran yang sebelumnya di-underestimate-kan, menjadi underdog, lantas kemudian tampil meyakinkan atau setidaknya mampu menguasai diri (forum), sudah pasti menjadi kejutan atau credit point tersendiri. Menjawab keraguan publik, dan tentu dapat menaikan elektabilitas.
Sebaliknya jika tidak ‘well perform’ tentu saja akan mengonfirmasi keraguan publik selama ini, dan tentu saja akan punya konsekuensi terhadap elektoral.
Sementara Cak Imin dan Prof Mahfud juga harus menunjukan nilai lebih, tidak hanya tampil ‘aman’, tapi mampu memperlihatkan kekuatan gagasan yang relevan dengan isu yang didebatkan, sehingga menjadi suatu kejutan atau pembeda.
Debat adalah batu uji, penampilan tiga cawapres, menjadi tantangan dan turut menentukan. Dianggap berpengalaman, namun bila materi debat kurang bersesuaian dengan capacity background, jadi hambatan, begitu pula bila kurang dalam pengalaman, tapi menguasai materi, akan memudahkan debat.
Pada sisi lain, kesalahan atau kekurangan dalam penampilan dari masing-masing cawapres, akan menjadi bahan menarik, terutama bagi warganet atau netizen. Bila ada kekeliruan, siap-siap potongan videonya menjadi viral di media sosial.
Pada titik inilah, bukan hanya soal penampilan dan penguasaan materi secara baik, tapi juga terkait self internal mechanism untuk meminimalkan kesalahan. Baik itu sikap, gestur, mimik, dan data yang disajikan, termasuk cara merespons lawan debat.
Selain penting belajar dari debat capres sebelumnya, dalam konteks debat cawapres, para kontestan bisa melihat atau belajar pada bagaimana debat cawapres yang menjadi tradisi pilpres di Amerika Serikat (AS).
Contoh yang paling update dan juga berpengaruh terhadap hasil pilpres di negara yang kerap menjadi rujukan demokrasi prosedural kita, adalah debat antara Cawapres Mike Pence dan Kamala Harris pada Pilpres 2020 lalu, yang rekaman debatnya mudah diakses lewat platform media digital.
Debat selain memainkan peran penting dalam memperkenalkan gagasan mereka, juga memperjelas pandangan politik mereka, terutama yang dapat turut memengaruhi persepsi pemilih terhadap mereka.