JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI melakukan pelanggaran administrasi terkait kegagalan memenuhi target afirmasi keterwakilan caleg perempuan sebanyak 30 persen, sebagaimana amanat Pasal 245 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
Hal itu diputus Majelis Pemeriksa Bawaslu RI pada Rabu (29/11/2023) terkait perkara yang dilaporkan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan.
"Memutuskan, satu, menyatakan Terlapor (KPU RI) secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi pemilu," kata Ketua Majelis Pemeriksa, Puadi, dalam sidang pembacaan putusan, Rabu siang.
"Dua, memerintahkan kepada Terlapor untuk melakukan perbaikan administratif terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme pada tahapan pencalonan anggota DPR dengan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung Nomor 24/P/HUM/2023 dan Surat Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Nomor 58/WKMA.Y/SB/X/2023 tanggal 23 Oktober 2023," ujarnya lagi.
Baca juga: KPU Klaim Laporan soal Keterwakilan Jumlah Caleg Perempuan di Pemilu Tidak Jelas
Bawaslu juga memberi teguran kepada KPU RI untuk tidak mengulangi perbuatan yang melanggar perundang-undangan.
Dalam pertimbangannya, Bawaslu menilai KPU RI lambat dalam merepons Putusan MA Nomor 24/P/HUM/2023 yang menyatakan penghitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan dengan metode pembulatan ke bawah melanggar UU Pemilu.
Pasalnya, putusan itu sudah terbit sejak 29 Agustus 2023, tetapi KPU hanya menyurati partai-partai politik untuk mematuhi putusan itu, tanpa melakukan perbaikan atas Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU 10/2023) tentang pencalegan.
"Majelis pemeriksa menilai tindakan terlapor sudah terlambat dan membuktikan terlapor tidak memiliki komitmen dan keseriusan melaksanakan putusan Mahkamah Agung," kata anggota majelis pemeriksa, Herwyn Malonda, membacakan bagian pertimbangan putusan.
Baca juga: Bawaslu Didesak Cepat Putus Kasus KPU soal Jumlah Caleg Perempuan, Disebut Ancam Logistik Pemilu
Keterlambatan tersebut, dikatakan mengakibatkan ketidaksiapan partai politik peserta pemilu guna melakukan perbaikan daftar bakal calon untuk memenuhi target keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil).
Terbukti, pada daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI yang ditetapkan KPU RI per 3 November, ada 267 DCT dari 17 partai politik yang jumlah caleg perempuannya di bawah 30 persen.
Hal ini bertentangan dengan amanat Pasal 245 UU Pemilu, PKPU 10/2023, dan putusan MA, yang menyebut bahwa afirmasi caleg perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil.
Di samping itu, Bawaslu juga menyoroti tindakan KPU RI yang justru mengajukan permintaan fatwa kepada MA yang meminta agar putusan MA itu baru diberlakukan pada Pemilu 2029.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Pemerintah Langgar HAM jika Kuota Caleg Perempuan Tak 30 Persen
MA kemudian merespons melalui Surat Wakil Ketua MA yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan hasil uji materi MA dilaksanakan KPU selaku Termohon sendiri, akan dilaksanakan pada pemilu tahun 2024, atau pemilu selanjutnya, bukan ada di ranah MA lagi, namun wewenang KPU.
"Terlapor seharusnya segera menentukan sikap terkait waktu pelaksanaan putusan MA apakah dilaksanakan pada Pemilu 2024 atau pemilu selanjutnya," kata Herwyn.
"Menimbang ketidakjelasan sikap Terlapor pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Sikap terlapor menunjukkan pengingkaran keadilan perempuan sebagaimana adagium hukum, justice delayed is justice denied, keadilan yang tertunda sama saja dengan meningkari keadilan itu sendiri," ujarnya lagi.