MKMK menjelaskan, meski pasal itu juga berlaku untuk hakim konstitusi mengundurkan diri dari perkara yang berpotensi konflik kepentingan, namun lembaga ad hoc itu adalah lembaga penegak etik.
"Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023," tulis putusan tersebut yang ditampilkan dalam sidang pembacaan putusan, Selasa (7/11/2023).
MKMK menegaskan, pasal dalam UU Kekuasaan Kehakiman itu "tidak serta-merta menyebabkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dengan sendirinya menjadi tidak sah".
Baca juga: Putusan MKMK, Gibran, dan Resesi Demokrasi
Apalagi, sifat final putusan MK diatur dalam regulasi yang lebih tinggi, yaitu Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, serta merupakan doktrin lembaga mahkamah konstitusi di seluruh dunia.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menegaskan, mengoreksi putusan MK akan membuat MKMK memiliki superioritas legal terhadap MK.
Jalur yang tersedia untuk membatalkan putusan MK, menurut Jimly, hanyalah melalui MK sendiri yang menyatakan pembatalan itu.
"Melainkan harus dinyatakan tidak sah oleh pejabat atau lembaga yang berwenang untuk itu sesuai dengan prinsip presumptio iustae causae, dalam hal ini melalui pengujian oleh Mahkamah Konstitusi," tulis putusan itu.
Saat ini, Pasal 169 huruf q UU Pemilu soal syarat usia minimum capres-cawapres yang sebelumnya diubah melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 itu sedang digugat lagi ke MK.
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia, Brahma Aryana (23), mengajukan uji materiil atas pasal tersebut.
Gugatan Brahma sudah diregistrasi dengan nomor 141/PUU-XXI/2023 dan akan disidang besok, Rabu (8/11/2023), bertepatan dengan hari terakhir pengusulan bakal capres-cawapres pengganti ke KPU RI.
Mereka berharap, MK bisa memutus perkara itu dalam waktu cepat karena perkara itu dianggap sudah sangat jelas lantaran sudah diperiksa MK melalui gugatan-gugatan sebelumnya.
Baca juga: Usai Putusan MKMK, Eks Hakim Nilai Putusan MK soal Syarat Usia Capres Kehilangan Legitimasi
Mereka juga meminta agar Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran, tidak turut mengadili perkara itu. Hal ini disetujui MKMK.
"Permintaan pelapor BEM UNUSIA agar tidak mengikutsertakan Hakim Terlapor dalam pemeriksaan perkara Nomor 141PUU-XXX/2023 dapat dibenarkan. Dia menguji undang-undang yang sudah mengalami perubahan karena putusan MK. Dan itu boleh diuji," kata Jimly.
"Pada saat disidang nanti, para pemohon boleh menggunakan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hak ingkar. Hak ingkar terkait putusan MKMK ini di mana hakim terlapor yang sudaj diberi sanksi tidak boleh mengikuti penanganan perkara itu," jelas Jimly.
Bahkan, MKMK pun secara eksplisit merekomendasikan MK agar tak melibatkan Anwar dalam persidangan hingga pengambilan putusan perkara tersebut.
"Maka ada peluang terjadinya perubahan tapi bukan oleh MKMK, tapi oleh MK sendiri. Biarlah putusan MK diubah oleh MKMK sendiri melalui mekanisme yang tersedia," kata Jimly.
Baca juga: Siang Ini, MK Sidangkan Lagi Gugatan Syarat Usia Capres-Cawapres
Sementara itu, dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, melayangkan uji formil terhadap putusan yang sama.
Mereka menegaskan, berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Anwar Usman seharusnya sejak awal tak ikut mengadili perkara tersebut karena konflik kepentingan.
Tanpa Anwar Usman, maka komposisi di Mahkamah seharusnya didominasi oleh hakim yang menolak mengabulkan perkara itu.
Sama seperti Brahma, Denny dan Zainal juga meminta sidang kilat atas gugatan uji formil mereka, serta tidak dilibatkannya Anwar Usman dalam mengadili perkara itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.