Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Putusan MKMK, Gibran, dan Resesi Demokrasi

Kompas.com - 09/11/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUTUSAN Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan beberapa hakim MK baru-baru ini memperpanjang daftar kesemrawutan sistem hukum kita yang akan semakin memperburuk kepercayaan publik dan dunia usaha kepada institusi hukum nasional.

Artinya, putusan MKMK memperburuk kualitas kepastian hukum dan tingkat konstitusionalitas putusan hakim di Indonesia, karena hakim yang memutus perkara bisa dinyatakan melanggar etika, tapi putusannya justru tidak bisa diganggu gugat.

Arti lainnya, putusan tersebut menambah jumlah preseden buruk ketidakpastian aturan konstitusi nasional dan buruknya reputasi penegak hukum kita setelah kasus yang melanda Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli N. Bahuri, baru-baru ini.

Padahal publik sangat memerlukan kepastian hukum dan konsistensi penegakan konstitusi untuk tetap bisa merasa aman dan nyaman hidup di Indonesia di mana aturan seharusnya tidak berubah sewaktu-waktu tanpa aba-aba yang berpotensi melanggar hak asasi manusia atas nama kekuasaan yang sedang berkuasa.

Jika kepastian hukum semakin menipis, hakim-hakim semakin banyak yang melanggar etika, para penegak hukum semakin banyak bermain-main dengan penegakan hukum, dan kepastian atas setiap keputusan hukum semakin diragukan, maka publik akan merasa semakin was-was hidup di Indonesia.

Jangan-jangan sewaktu-waktu akan ada hakim di MK, misalnya, yang menyatakan bahwa presiden boleh menjabat selama tiga periode atau pemilihan ditunda karena satu dan lain hal, yang membuat hak politik kita sebagai pemilih mendadak hilang.

Lalu setelah itu, hakimnya hanya akan diganjar hukuman penonaktifan, tanpa pembatalan atas putusan yang telah dikeluarkan.

Kondisi tersebut sangat dilematis sekaligus miris, baik secara hukum maupun secara politik. Bahkan peristiwa-peristiwa politik belakangan ini meyakinkan saya bahwa Indonesia saat ini sudah memasuki fase yang disebut oleh Sosiolog Colin Crouch sebagi fase "post democracy society", sebagaimana dijelaskan dalam bukunya yang terbit pada 2004 lalu, berjudul "Post Democracy".

Isu yang diangkat Colin sangat menarik, walaupun disayangkan, substansinya tidak terlalu populer pada tahun-tahun berikutnya setelah buku tersebut terbit.

Kendati demikian, banyak indikasi yang dikatakan Colin yang sebenarnya eksis dalam realitas perdemokrasian, termasuk di Indonesia.

Menurut Colin, era "post democracy society" adalah "one that continues to have and to use all the institutions of democracy, but in which they increasingly become a formal shell. The energy and innovative drive pass away from the democratic arena and into small circles of a politico-economic elite."

Realitas nyatanya memang seperti itu, terutama untuk Indonesia. Demokrasi hanya menjadi semacam standar minimal saja.

Sementara itu, di sisi lain dinasti politik, pelibatan sanak famili ke dalam panggung politik, politik balas budi, politik harga teman, cengkeraman oligarki, tetap berlangsung di mana pada akhirnya kerentanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme justru kian subur terpupuk di sini.

Dengan kata lain, demokrasi diperlakukan semata sebagai instrumen teknis yang tidak terkait dengan tujuan lebih tinggi, seperti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghargaan kepada kemanusiaan serta hak-hak sosial ekonomi yang melekat.

Dengan indikasi yang sama, kemudian di daratan Amerika Serikat, Sosiolog Larry Diamond juga akhirnya menyimpulkan bahwa telah terjadi resesi demokrasi di negara-negara yang awalnya sempat terkena sapuan gelombang ketiga demokrasi versi pakar politik Amerika Serikat, Samuel P. Huntington.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com