JAKARTA, KOMPAS.com - Empat petinggi PT Afi Farma, produsen obat yang diduga menyebabkan ratusan anak menderita gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI), “hanya” divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Vonis itu jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni 9 tahun penjara.
Adapun keempat terdakwa itu adalah Direktur Afi Farma Arief Prasetya Harahap, Manajer Pengawasan Mutu PT Afi Farma Nony Satya Anugrah, Manajer Quality Insurance PT Afi Farma Aynarwati Suwito, dan Manajer Produksi PT Afi Farma Istikhomah.
Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas Edisi 2 November, vonis dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kediri, Jawa Timur, pada Rabu (1/11/2023).
Majelis hakim yang dipimpin Boedy Haryantho dengan dua anggotanya, Nugroho dan Ira Rosalin menyatakan para terdakwa terbukti melanggar Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55 (Ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: Soal Bantuan untuk Korban Gagal Ginjal Akut, Mensos Risma: Duit dari Mana? Berat Biayanya
Meski dinyatakan bersalah, hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim PN Kediri itu jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum.
Dalam tuntutannya, Jaksa Sigit Artantodjati meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman 9 tahun penjara kepada Arief selaku Direktur Utama PT Afi Farma.
Sigit juga meminta tiga bawahan Arief, yakni Nony, Anarwati, dan Istikhomah dihukum 7 tahun penjara.
Tidak ketinggalan, Sigit juga meminta mereka dihukum denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut, Polisi: PT Afi Farma Dapat Bahan Baku Tercemar dari Beberapa Perusahaan
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebutkan, salah satu hal yang memberatkan dalam putusan itu adalah para terdakwa dinilai tidak mendukung program pemerintah.
Mereka dinilai secara sengaja memproduksi barang farmasi yang tidak memenuhi standar.
Menanggapi putusan ini, baik para terdakwa maupun jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir.
“Kemungkinan kami akan banding karena vonisnya di bawah tuntutan kami,” tutur Sigit.
Ada cemaran EG dan DeG
Menurut Sigit, sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan, dalam produk obat yang tidak sesuai standar terdapat bahan baku campuran obat propilen glikol.
Campuran ini tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DeG) yang mengakibatkan gagal ginjal akut.
Meskipun memiliki kromatografi untuk memeriksa kandungan cemaran itu, para terdakwa tidak melakukannya sebagaimana aturan Farmakope VI dari Kementerian Kesehatan.
Padahal, aturan ketentuan tersebut menyatakan bahan campuran obat harus dicek terlebih dahulu dengan kromatografi.
Baca juga: Saling Lempar Tanggung Jawab Bantuan Korban Gagal Ginjal Akut...
Sementara itu, kuasa hukum Arief M Syamsul Hidayat menyebut pihaknya menghormati putusan majelis hakim.
Meski demikian, pihaknya masih menimbang-nimbang akan mengajukan banding atau tidak.
Syamsul menyebutkan, majelis hakim memiliki pertimbangan yang berbeda dari pengacara. Adapun tim kuasa hukum yakin perkara ini merupakan tindak pidana korporasi, bukan perseorangan.
“Terdakwa masih pikir-pikir, belum bisa memastikan apakah akan banding atau tidak,” kata dia.
Sebagai informasi, gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak ramai terjadi pada tahun 2022.
Penyakit ini sebelumnya dinyatakan sebagai penyakit misterius karena belum diketahui penyebabnya.
Belakangan diketahui, kasus ini disebabkan oleh keracunan obat sirup yang mengandung zat kimia berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol (EG/DEG).
Zat kimia berbahaya tersebut tidak boleh ada dalam obat sirup, tetapi cemarannya dimungkinkan ada karena zat pelarut tambahan yang diperbolehkan di dalam obat sirup, yakni propilen glikol, polietilen glikol, gliserin/gliserol, dan sorbitol.
Cemaran ini tidak membahayakan sepanjang tidak melebihi ambang batas. Namun, nyatanya sejumlah produsen obat menggunakan cemaran itu melebih ambang batas yang diatur.
Tak berhenti sampai situ, para korban menggugat Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta beberapa perusahaan farmasi maupun distributor yang tidak memenuhi ketentuan.
Para korban dan keluarganya menganggap Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) lalai. Oleh karenanya, mereka menuntut biaya ganti rugi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.