Kedua, ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Alasannya, klausul “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A UUD 1945 adalah satu tarikan napas dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang merujuk pada pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan secara serentak dalam satu kontestasi dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Sehingga asas keserentakan dalam putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 membuat tidak ada partai politik peserta pemilu yang memiliki modal suara sah sebagai threshold.
Dengan demikian, seluruh partai politik peserta pemilu berada dalam posisi yang sama dengan nol persen kursi atau nol persen suara sah. Atas dasar keserentakan pemilu tersebut, maka ambang batas Capres-Cawapres haruslah dihilangkan.
Menjawab berbagai permohonan uji materi tersebut, setidaknya ada tiga substansi putusan Mahkamah. Pertama, sebagian besar legal standing pemohon ditolak.
Kedua, tidak ada isu konstitusionalitas dalam permohonan karena penentuan ambang batas adalah kebijakan hukum terbuka dari pembuat Undang-undang.
Ketiga, Mahkamah berpandangan belum merasa perlu menggeser pendiriannya. Atas permohonan yang masuk ke pokok perkara, pendirian yang menjadi tafsir konstitusi Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya adalah ambang batas 20 persen bukanlah pembatasan hak politik yang intorelable.
Menanggapi MK yang bergeming mempertahankan tafsir konstitusionalnya atas ambang batas Capres-Cawapres, Partai Gelora Indonesia mengajukan permohonan uji materi dengan sudut pandang berbeda.
Demi menjaga tegaknya mandat konstitusi pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum", Partai Gelora menguji konstitusionalitas keserentakan pemilu dalam hari yang sama di pasal 167 ayat (3) dan pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Pelaksanaan pasal keserentakan dalam hari yang sama berakibat pada ambang batas Capres-Cawapres diambil dari hasil pemilu periode sebelumnya.
Partai Gelora memandang hal tersebut bertentangan dengan konstitusi karena kekuasaan dalam demokrasi berasal dari mandat daulat rakyat yang harus diperbaharui secara periodik per lima tahunan.
Partai Gelora mendasarkan keyakinannya pada argumentasi "Klausul Pemilu Sebelumnya dalam Pasal 6A ayat (2) haruslah dimaknai sebagai Pemilu di tahun berjalan, bukan pemilu priode sebelumnya"
Mengambil ambang batas 20 persen suara sah pemilu priode sebelumnya sama dengan menjadikan mandat daulat rakyat yang sudah kedaluwarsa sebagai sumber kekuasaan.
Tindakan tersebut adalah pengabaian terhadap jutaan daulat pemilih di tahun pemilu berjalan yang tidak memilih di pemilu periode sebelumnya.
Hal tersebut bertentangan dengan konstitusi karena MK justru lebih mempertimbangkan daulat suara sah kedaluwarsa pemilih di pemilu periode sebelumnya yang tidak lagi sepenuhnya menjadi pemilih di pemilu tahun berjalan, atas dasar pertimbangan adanya angka mortality.
Namun permohonan uji materi Partai Gelora kandas dengan pertimbangan hukum Mahkamah yang mengatakan belum merasa perlu mengubah pendiriannya.
"Idu Geni" berasal dari bahasa Jawa yang artinya lidah api. Istilah ini merujuk pada seseorang yang ketika berbicara langsung menjadi kenyataan, di Jawa dikenal dengan sabdo pandhito ratu.
Dalam hubungan dengan Putusan MK, Budiman Tanurejo berulang kali mengutip analogi dari Satjipto Rahardjo bahwa MK pemilik ”idu geni” atau lidah api. Sekali putusan diucapkan, semua anak bangsa harus tunduk, putusannya final dan mengikat.
Frasa "Idu Geni" dimuat oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan 90/2023 sebagai berikut: