JAKARTA, KOMPAS.com - "Seminggu yang lalu, saya jatuh dari becak, karena becaknya ditabrak Honda. Untung saya selamat”. Demikian dituliskan Sugondo Djojopuspito dalam salah satu suratnya yang diungkap oleh Soebagijo IN, wartawan dan penulis sejarah pers.
Dalam suratnya, Sugondo menuturkan, saat itu hanya tulang kakinya yang terasa sakit.
Bukan mengejutkan seorang Sugondo naik becak. Dituliskan oleh sejarawan dan profesor riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi Warman Adam dalam Kompas edisi 28 Oktober 2010, Soegondo memang tak pernah punya mobil sendiri, bahkan sampai akhir hayatnya.
Tokoh Sumpah Pemuda dari kalangan Taman Siswa tersebut dikenal sebagai sosok sederhana, meski kontribusinya besar kepada negara.
Soegondo lahir 22 Februari 1905 di Tuban, Jawa Timur. Tahun 1925, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, walaupun tidak sampai tamat.
Saat menempuh pendidikan hukum itu, Soegondo tinggal di rumah seorang pegawai pos. Karenanya, dia bisa mendapatkan majalah Indonesia Merdeka terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang sebenarnya dilarang masuk Indonesia.
Baca juga: Sumpah Pemuda, Sjahrir, dan Gibran
Soegondo memang gemar membaca buku. Tak hanya yang berbahasa Indonesia, buku dalam berbagai bahasa pun dia lahap, seperti Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman.
Wawasan kebangsaan Soegondo semakin terbuka setelah membaca Indonesia Merdeka. Majalah ini membakar semangat Soegondo dan menyadarkannya tentang arti persatuan.
Soegondo bahkan meminjamkan majalah terlarang itu ke teman-temannya. Mereka berdiskusi politik setiap seminggu sekali.
Inilah yang menggerakkan Soegondo dan empat temannya yakni Suwiryo, Sigit, Gularso, dan Darwis, mendirikan Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) pada tahun 1926.
Kelima orang tersebut aktif menghubungi mahasiswa baru dan perkumpulan pemuda untuk menanamkan persatuan Indonesia. Bahkan, mereka pernah membuat pamflet rahasia yang berisi ajakan menggulingkan pemerintah Belanda.
Sejak awal terbentuk hingga setahun setelahnya, PPPI dipimpin oleh Sigit. Lalu, pada 1927, Soegondo memimpin organisasi tersebut.
Saat itu, perkumpulan pemuda kedaerahan memang tengah marak. Sebutlah Tri Koro Dharmo, Perhimpunan Indonesia, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islaminten Bon, Pemuda Kaum Betawi, dan masih banyak lainnya.
Para pemuda ini punya tujuan bersama, yakni persatuan dan mengurangi perpecahan akibat perbedaan suku hingga agama. Mereka sadar bahwa persatuan dibutuhkan untuk mencapai kemerdekaan.
Baca juga: Sumpah Pemuda Era Kini
Dari situ, muncul inisiatif untuk melebur perhimpunan para pemuda ini ke dalam sebuah musyawarah besar. Inilah cikal bakal lahirnya Kongres Pemuda.