Jangan bayangkan hari ini, yang serba ada, serba mudah. Transportasi mudah, komunikasi gampang. Para pemuda hari ini mau kongres setiap hari dengan bergilir dari satu kota ke kota lain di Indonesia tak kesulitan.
Tahun 1928, di Batavia sekalipun, tentu butuh semangat dan nyali besar. Apalagi, pemerintah kolonial Hindia-Belanda sedang galak-galaknya terhadap pergerakan bumiputra pasca-pemberontahan di Sumatera Barat 1926 dan 1927. Organisasi dan tokoh pergerakan sedang diawasi betul oleh penguasa kolonial.
Namun, para pemuda dengan semangat tinggi dan nyali besar tetap menggelar kongres. Mereka memilih “bunuh diri” kelas.
Mereka bukan golongan masyarakat yang tak punya hak istimewa (privilege). Mereka memiliki privilege, namun tak mengambilnya untuk kemewahan sendiri. Sebaliknya, privilege itu dipersembahkan buat rakyat yang terjajah dan masa depannya.
Satu di antara mereka adalah Sutan Sjahrir, yang kala itu baru 19 tahun dan saat menerima jabatan sebagai perdana menteri Indonesia pada awal kemerdekaan berusia 36. Usia sangat muda untuk jabatan perdana menteri.
Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, menyebut Sjahrir sebagai pembenar atas tampilnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto.
Seperti Gibran sebagai putra presiden, Sutan Sjahrir bukan tak memiliki privilege. Terlahir sebagai putra pegawai pemerintah kolonial – ayahnya menjabat penasihat Sultan Deli dan juga kepala jaksa atau “landraad” pada masa pemerintahan kolonial Belanda – Sjahrir berkesempatan masuk sekolah terbaik pada zamannya.
Sjahrir menyelesaikan pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) atau setingkat sekolah dasar, lalu masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Di MULO, ia banyak membaca buku-buku asing terbitan Eropa, juga karya-karya sastra dari luar. Tamat dari MULO pada 1926, ia hijrah ke Bandung, bersekolah di AMS (Algemeene Middelbare School) yang merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung.
Di Bandung itulah semangat nasionalisme dan jiwa pergerakan Sutan Sjahrir tumbuh dan terasah di lapangan. Ia mulai mengenal Tjipto Mangunkusumo, yang saat itu telah dikenal sebagai tokoh pergerakan. Tjipto sering berpidato di alun-alun di Bandung.
Di samping banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku terbitan Eropa, Sjahrir juga mengikuti klub kesenian di sekolahnya.
Ia juga aktif dalam klub debat di AMS, lalu mendirikan sekolah Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) yang ditujukan untuk anak-anak buta huruf dan dari keluarga tidak mampu.
Pada 1927, usianya baru 18 tahun, Sjahrir diberi amanah menjadi bagian dari pendiri Jong Indonesien (kelak disebut Pemuda Indonesia).
Organisasi ini sayap Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tugas menghimpun pemuda nasionalis yang sebelumnya masih terpecah-pecah per daerah. Di sanalah Sjahrir terlibat menggerakkan pemuda progresif untuk Kongres Pemuda II 1928.
Status pemimpin pergerakan dengan sapaan populer "Bung Kecil" lalu melekat pada diri Sjahrir. Terutama setelah belajar di Belanda dan mendalami sosialisme serta bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.