Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Politik Dinasti Memunggungi Semangat Republik

Kompas.com - 19/10/2023, 13:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Politik dinasti sempat teredam oleh UU Nomor 8 Tahun 2015 pasal 7 huruf r yang melarang calon kepala daerah punya konflik kepentingan dengan petahana. Sayang, beleid ini dibatalkan oleh MK karena alasan perlakuan diskriminatif.

Setidaknya, sejak Pilkada dimulai hingga 2012, ada 60 politik dinasti yang muncul di berbagai daerah di Indonesia (Kompas, 2013).

Sementara Yoes C Kenawas dalam The Rise of Political Dynasties in a Democratic Society menyebutkan, ada 202 kandidat kepala daerah dalam Pilkada 2015-2018 yang terafiliasi dinasti politik. Lebih dari setengahnya atau 117 kandidat menjadi pemenang.

Pada Pilkada 2020, ada 158 calon yang memiliki pertalian dengan politisi yang lebih dulu berkibar (Yoes C. Kenawas, VOA Indonesia, 16/12/2020).

Termasuk dua kerabat Presiden Joko Widodo, yakni sang anak Gibran Rakabuming di Solo dan sang menantu Bobby Nasution di Medan.

Namun, semua itu hanyalah persoalan di hilir. Di hulu, parpol sebagai pencetak politisi yang akan mengisi jabatan politik juga terbelenggu oleh politik dinasti.

Ada parpol yang jabatan Ketua Umumnya diwariskan dari bapak ke anak layaknya kerajaan-kerajaan masa lampau. Sementara pada parpol lain, sanak-saudara dari pimpinan partai mengisi jabatan-jabatan penting di partai.

Beberapa penyebab

Politik dinasti lahir dari hasrat politik yang menghendaki kekuasaan tanpa ujung. Kalaupun harus berakhir, entah karena faktor usia atau mangkat, kekuasaan harus terwariskan pada anak-istri.

Hasrat politik semacam itu pernah tumbuh subur di masa feodalisme dan kekuasaan yang terperangkap dalam patrimonialisme.

Masalahnya kini, meskipun struktur dan basis sosial yang menghidupinya sudah terbabat habis oleh perkembangan kapitalisme, mental feodal masih menyisa dan tertanam dalam mental politisi dan birokrat di Indonesia.

Koentjaraningrat (1991) pernah menulis, mentalitas feodal menghambat lahirnya semangat berdemokrasi yang benar. Mentalitas itu yang membabat setiap benih berdemokrasi dalam tubuh organisasi, termasuk partai.

Kedua, politik dinasti juga menguatkan oligarki politik, yang menempatkan perebutan jabatan publik atau kekuasaan untuk mengakumulasi kekayaan, menjadi penghampar karpet merah bagi politik dinasti.

Dalam politik yang oligarkis, sumber daya dan kekayaan meterial terkonsentrasi di tangan segelintir orang.

Dalam politik yang berbiaya tinggi, sumber daya dan kekayaan material menjadi senjata paling ampuh untuk memenangi kontestasi politik. Apalagi, Indonesia adalah negara dengan tingkat politik uang nomor tiga tertinggi di dunia, hanya di bawah Uganda dan Benin (Burhanuddin Muhtadi, 2019).

Selain itu, politik dinasti juga menjadi mekanisme politik bagi para oligark untuk mereproduksi kekuasaannya. Intinya, kekayaan dan kekuasaan harus berjalan beriringan, dan itu tidak boleh keluar dari lingkaran keluarga.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com