Salin Artikel

Politik Dinasti Memunggungi Semangat Republik

Menariknya, mayoritas suara peserta sidang mengumandangkan penolakan terhadap kekuasaan politik yang diwariskan turun-temurun berdasarkan hubungan kekerabatan atau monarki.

“Monarki tentulah mendatangkan dinasti, baik dinasti yang baru maupun yang dipilih dari pada dinasti yang ada di tanah kita,” kata Mohammad Yamin.

Menurut dia, model dinasti tidak cocok dengan Indonesia merdeka dan kemauan rakyat yang tak mau diperintah ala kerajaan secara turun-temurun.

Singkat cerita, karena perdebatan tak bertemu kata mufakat, sidang menyetujui voting untuk memilih bentuk negara Republik atau monarki. Menariknya lagi, sebelum voting dimulai, sidang mengheningkan cipta sejenak dan membacakan doa.

Hasil voting menunjukkan, dari 66 suara peserta sidang, 55 orang memilih Republik, 6 orang memilih Monarki, 2 orang memilih sistem lain, dan 1 blanko kosong.

Dari risalah sidang BPUPKI itu, kita bisa menangkap semangat besar dan mimpi nan mulia di balik pilihan bentuk negara Republik.

Pertama, penolakan terhadap model kekuasaan yang diwariskan turun-temurun. Kedua, keinginan meletakkan Indonesia di atas prinsip kedaulatan rakyat, yaitu kekuasaan yang dipilih oleh rakyat, dijalankan secara demokratis, dan bermuara pada kebaikan bersama.

Menguatnya politik dinasti

Sayang seribu kali sayang, sungguh pun Indonesia masih berbentuk negara Republik, tetapi penyelenggaraan kekuasaan politiknya banyak terkontaminasi oleh politik dinasti.

Pada masa Orde Baru, politik dinasti dipertontonkan sangat telanjang. Pada 16 Maret 1998, Soeharto menunjuk anak sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana, sebagai Menteri Sosial di Kabinet Pembangunan VII.

Sebelumnya, Tutut sudah menjadi anggota MPR-RI dari Fraksi Golkar (1992-1998) berkat akses kekuasaan bapaknya. Jabatan Tutut memang singkat: hanya 2 bulan 5 hari.

Perjuangan demokrasi, yang bergandengan tangan dengan perlawanan terhadap kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), berhasil melengserkan Soeharto pada 21 Mei 1998.

Namun, pascareformasi, meskipun ada aspirasi yang kuat untuk melawan politik dinasti dan KKN, tetapi ketiadaan kekuatan progresif yang mewarnai ruang-ruang politik elektoral telah menghamparkan jalan bagi menguatnya politik oligarki dan dinasti.

Jika di masa Orba, politik dinasti dipertontonkan di level nasional, maka pascareformasi dinasti politik menjalar dari nasional hingga lokal (provinsi dan kabupaten/kota).

Muncul dinasti-dinasti politik di lokal, seperti dinasti Fuad di Bangkalan (Jawa Timur), dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, dinasti Narang di Kalimantan Tengah, dinasti Sjachroedin di Lampung, dan dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten.

Politik dinasti sempat teredam oleh UU Nomor 8 Tahun 2015 pasal 7 huruf r yang melarang calon kepala daerah punya konflik kepentingan dengan petahana. Sayang, beleid ini dibatalkan oleh MK karena alasan perlakuan diskriminatif.

Setidaknya, sejak Pilkada dimulai hingga 2012, ada 60 politik dinasti yang muncul di berbagai daerah di Indonesia (Kompas, 2013).

Sementara Yoes C Kenawas dalam The Rise of Political Dynasties in a Democratic Society menyebutkan, ada 202 kandidat kepala daerah dalam Pilkada 2015-2018 yang terafiliasi dinasti politik. Lebih dari setengahnya atau 117 kandidat menjadi pemenang.

Pada Pilkada 2020, ada 158 calon yang memiliki pertalian dengan politisi yang lebih dulu berkibar (Yoes C. Kenawas, VOA Indonesia, 16/12/2020).

Termasuk dua kerabat Presiden Joko Widodo, yakni sang anak Gibran Rakabuming di Solo dan sang menantu Bobby Nasution di Medan.

Namun, semua itu hanyalah persoalan di hilir. Di hulu, parpol sebagai pencetak politisi yang akan mengisi jabatan politik juga terbelenggu oleh politik dinasti.

Ada parpol yang jabatan Ketua Umumnya diwariskan dari bapak ke anak layaknya kerajaan-kerajaan masa lampau. Sementara pada parpol lain, sanak-saudara dari pimpinan partai mengisi jabatan-jabatan penting di partai.

Beberapa penyebab

Politik dinasti lahir dari hasrat politik yang menghendaki kekuasaan tanpa ujung. Kalaupun harus berakhir, entah karena faktor usia atau mangkat, kekuasaan harus terwariskan pada anak-istri.

Hasrat politik semacam itu pernah tumbuh subur di masa feodalisme dan kekuasaan yang terperangkap dalam patrimonialisme.

Masalahnya kini, meskipun struktur dan basis sosial yang menghidupinya sudah terbabat habis oleh perkembangan kapitalisme, mental feodal masih menyisa dan tertanam dalam mental politisi dan birokrat di Indonesia.

Koentjaraningrat (1991) pernah menulis, mentalitas feodal menghambat lahirnya semangat berdemokrasi yang benar. Mentalitas itu yang membabat setiap benih berdemokrasi dalam tubuh organisasi, termasuk partai.

Kedua, politik dinasti juga menguatkan oligarki politik, yang menempatkan perebutan jabatan publik atau kekuasaan untuk mengakumulasi kekayaan, menjadi penghampar karpet merah bagi politik dinasti.

Dalam politik yang oligarkis, sumber daya dan kekayaan meterial terkonsentrasi di tangan segelintir orang.

Dalam politik yang berbiaya tinggi, sumber daya dan kekayaan material menjadi senjata paling ampuh untuk memenangi kontestasi politik. Apalagi, Indonesia adalah negara dengan tingkat politik uang nomor tiga tertinggi di dunia, hanya di bawah Uganda dan Benin (Burhanuddin Muhtadi, 2019).

Selain itu, politik dinasti juga menjadi mekanisme politik bagi para oligark untuk mereproduksi kekuasaannya. Intinya, kekayaan dan kekuasaan harus berjalan beriringan, dan itu tidak boleh keluar dari lingkaran keluarga.

Ketiga, parpol belum menjadi organisasi politik yang modern dan demokratis. Parpol masih dibelit banyak masalah: rekrutmen instan, kaderisasi mandeg, keuangan yang tidak transparan, demokrasi internal tidak berjalan, bertumpu pada figur, dan lain-lain.

Situasi itu membuat parpol menempuh jalan pintas: meminang orang kaya, populer, atau punya pengaruh. Dan mereka adalah orang kaya, mantan pejabat, keturunan elite, dan lain sebagainya.

Memunggungi semangat Republikanisme

Selalu ada dalih yang mengatakan, politik dinasti tidak dilarang oleh konstitusi. Namun, mereka lupa, bentuk negara yang dianut oleh Indonesia, yaitu Republik, dibangun di atas kehendak mengakhiri sirkulasi kekuasaan berdasarkan keluarga secara turun temurun maupun kendali terhadap kekuasaan oleh segelintir elite.

Bukankah bentuk negara Republik diatur dalam pasal terdepan Konstitusi kita?

Pertama, politik dinasti telah membuat sirkulasi kekuasaan hanya beralih dan berputar dalam keluarga tertentu dan memupuskan harapan putra-putri terbaik bangsa untuk mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin politik di negeri ini.

Selain itu, jenjang kaderisasi politik juga harus dikorbankan dengan adanya praktik politik dinasti.

Melalui sistem ini, tokoh yang dipilih hanyalah mereka yang memiliki modal kuasa untuk bertarung. Kondisi ini menggugurkan kandidat berkualitas, tetapi kalah dalam jejaring atau latar belakang keturunan.

Kedua, politik dinasti bertentangan dengan prinsip kesetaraan politik. Politik dinasti menciptakan lapangan bermain yang tidak seimbang (uneven playing field).

Calon dari keluarga dinasti akan didukung oleh sumber daya, akses terhadap kekuasaan, dan jejaring politik yang kuat.

Kalau orangtuanya masih menjabat (petahana), maka dia juga berpotensi mendapat dukungan mobilisasi aparatus dan instrumen politik lainnya.

Jadi, kalau ada yang bilang tidak ada dinasti dalam demokrasi, karena semua calon dipilih oleh rakyat, maka anggapan itu bermasalah.

Pertama, pemilihannya tidak berdasarkan level playing field yang setara. Kedua, dalam demokrasi yang cacat, terutama karena rendahnya partisipasi, melemahnya kebebasan sipil, dan dominasi politik uang, mereka yang terpilih belum tentu mewakili suara rakyat yang sesungguhnya.

Politik dinasti meningkatkan risiko korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Tak sedikit kepala daerah atau pejabat yang tersandung kasus korupsi berasal dari kalangan dinasti politik.

Politik dinasti melemahkan kontrol terhadap kekuasaan (check and balance) karena cabang-cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dipegang atau dipengaruhi oleh satu keluarga.

Dalam banyak kasus, bupati dipegang oleh suami, Ketua DPRD dipegang istri, dan anak serta sanak-famili yang lain tersebar di jabatan-jabatan lain.

Politik dinasti merusak kualitas demokrasi. Dalam banyak kejadian, politik dinasti mendorong manipulasi elektoral dengan politik uang, penyelewengan sumber daya negara, politisasi aparatus negara, dan penggunaan preman untuk mengintimidasi lawan maupun pemilih.

Singkat cerita, politik dinasti memunggungi semangat Republikanisme, yang mengedepankan kesempatan berpolitik kepada setiap warga negara, mengutamakan meritokrasi, menghendaki kesetaraan ekonomi dan politik, dan menjunjung tinggi politik untuk kebaikan bersama.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/19/13283241/politik-dinasti-memunggungi-semangat-republik

Terkini Lainnya

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Nasional
Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Nasional
ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Nasional
KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

Nasional
Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Nasional
Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Nasional
Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Nasional
Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Nasional
Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke