Menghadapi kendala besar bakal caleg perempuan dalam pemilu, beberapa upaya berikut kiranya dapat dilaksanakan.
Pertama, parpol memberi para caleg perempuannya nomor urut kecil, karena umumnya pemilih enggan meneliti daftar caleg yang panjang dalam waktu terbatas.
Kedua, KPU dan aparat keamanan mencegah terjadinya pembelian suara atau “serangan fajar” dan mencegah terjadinya “pemaksaan” untuk mencoblos calon tertentu, agar pemilih lebih obyektif dalam memilih calon.
Caleg perempuan berpeluang untuk dipilih dengan pelaksanaan pemilu yang bebas dari tekanan dan politik uang.
Ketiga, mendidik masyarakat, khususnya pemilih perempuan, tentang kebajikan memilih caleg perempuan dibandingkan caleg pria, ketika keterwakilan perempuan dalam DPR/DPRD masih di bawah 30 persen.
Para akademisi dan aktivis perempuan perlu menonjolkan hubungan positif antara komposisi perempuan dalam parlemen dengan tingkat kemiskinan, kesehatan, kesejahteraan, kriminalitas, dan sejenisnya sebagaimana yang terbukti di negara-negara demokratis yang maju.
Kebijakan afirmatif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen tidak cukup ampuh hanya dengan membuat undang-undang. Mencegah rintangan yang dihadapi perempuan dalam mengarungi rimba belantara politik yang cenderung maskulin perlu dilakukan.
Hal itu menuntut pengawalan yang serius terhadap pelaksanaan proses pemilihan umum dari semua pihak, agar tidak terjadi penyimpangan dari kebijakan afirmatif yang sudah disepakati.
Kesamaan pandangan dari berbagai pihak akan mempercepat pencapaian target minimal 30 persen perempuan di parlemen. Pada Pemilu 2024, diharapkan target itu sudah tercapai. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.