JAKARTA, KOMPAS.com - Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (29/9/2022) menyetujui untuk mencopot seorang hakim konstitusi, Aswanto, kendati masa baktinya masih merentang sampai tahun 2029.
Tak peduli kritik kanan-kiri, Senayan jalan terus dengan keputusan kontroversial itu dan mengangkat Sekretaris Jenderal MK waktu itu, Guntur Hamzah, jadi suksesor Aswanto.
"Apakah persetujuan untuk tidak akan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang berasal dari usulan DPR atas nama Aswanto, dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang berasal dari DPR tersebut, dapat disetujui?" tanya Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco sebagai pemimpin Rapat Paripurna.
Lima fraksi setuju, satu menerima dengan catatan, satu menolak, dan dua tidak hadir. Aswanto pun turun takhta secara paksa.
Baca juga: MK Tak Masalah Proses Penetapan UU Ciptaker Tak Selaras UUD 1945
Belakangan, Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-P, Bambang "Pacul" Wuryanto, mengungkap alasan parlemen mencopot Aswanto.
Aswanto dianggap kerap menganulir undang-undang produk DPR, padahal ia menempati jabatan hakim konstitusi melalui usul Senayan.
"Dasarnya, Anda tidak komitmen, begitu lho. Enggak komit dengan kita, ya mohon maaflah, kita punya hak dipakai," ucap Bambang, Jumat (30/9/2022).
Salah satu beleid yang dianulir Aswanto adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena cacat formil.
Bagaimana tidak, UU Ciptaker disahkan hanya dalam kurun delapan bulan ketika pandemi Covid-19 merebak, melahirkan banyak salah ketik dan beragam versi jumlah halaman menjelang pengesahannya.
Ketika itu, Aswanto bersama empat hakim konstitusi lainnya (Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo) menjadi kubu mayoritas dalam memutus UU yang dianggap berpihak kepada pengusaha dan meminggirkan kepentingan pekerja itu.
Baca juga: MK Anggap Perppu Ciptaker Jokowi Penuhi Syarat Kegentingan yang Memaksa
Empat hakim lain: Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic Foekh, dan Manahan Sitompul, menjadi pihak berseberangan (dissenting) yang menganggap UU Ciptaker konstitusional meski banyak kelemahan dalam proses perumusan.
Dalam putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, Aswanto cs menilai penyusunan UU Ciptaker yang tak melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Ini melanggar asas transparansi dan keterbukaan perumusan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Melalui putusan 448 halaman tersebut, MK memerintahkan pembentuk undang-undang memperbaikinya maksimum dalam dua tahun ke depan.
Istana tak hilang akal mencari celah agar beleid yang sejak awal dipromosikan untuk menggenjot kepentingan industri itu bisa lolos lubang jarum.
Baca juga: MK Sebut UU Ciptaker 2023 Tak Perlu Partisipasi Publik Berarti karena dari Perppu
Presiden Joko Widodo mengundangkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai bentuk perbaikan UU Ciptaker pada 30 Desember 2022, meski perppu seharusnya hanya dapat diundangkan karena kegentingan yang memaksa.
Surat presiden perihal RUU Penetapan Perppu Ciptaker diterima parlemen pada 9 Januari 2023, tepat di hari terakhir masa sidang II DPR.
Merujuk Pasal 22 ayat (2) dan 52 ayat (1) UUD 1945, perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, dan perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
Faktanya, persetujuan Perppu Ciptaker menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 baru dilakukan pada Rapat Paripurna masa sidang IV, 21 Maret 2023, bukan pada masa sidang III.
Simsalabim, penetapan Perppu Ciptaker yang diteken sepihak oleh Jokowi menjadi undang-undang pun kembali menuai protes buruh.
Puluhan elemen buruh mengajukan uji formil ke MK melalui lima gugatan, yakni perkara nomor 40, 41, 46, 50, dan 54/PUU-XXI/2023.
Dalam sidang pembacaan putusan kemarin, Senin (2/10/2023), MK menolak seluruh gugatan tersebut dan menyatakan UU Ciptaker versi 2023 tidak cacat formil. Berkebalikan dari preseden 2020.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Baca juga: 4 Hakim Dissenting soal MK Putuskan UU Ciptaker Konstitusional
Pertama, soal molornya masa sidang untuk menyetujui Perppu Ciptaker, Mahkamah menganggap wajar jika DPR butuh waktu lama untuk menetapkan perppu itu menjadi undang-undang.
Sebab, Perppu Ciptaker bersifat omnibus yang mencakup 78 undang-undang lintas sektor. Majelis hakim juga menilai, parlemen tak menunjukkan gelagat buang-buang waktu untuk mengaji perppu itu sejak menerima surat presiden.
Kedua, soal tidak terpenuhinya unsur kegentingan yang memaksa, MK mengamini begitu saja argumen pemerintah yang disampaikan dalam persidangan bahwa Perppu Ciptaker itu genting untuk diteken.
Kegentingan itu berupa "krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19".
Perdebatan soal kegentingan yang memaksa itu, menurut Mahkamah, sudah selesai ketika DPR menyetujui penetapan Perppu Ciptaker menjadi undang-undang.
Ketiga, soal ketiadaan partisipasi bermakna publik dalam pembentukan undang-undang itu, MK juga menilainya tidak dapat dikenakan pada undang-undang yang sifatnya menetapkan perppu, sebab perppu membutuhkan waktu cepat untuk diundangkan karena kegentingan yang memaksa.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945," ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah membacakan pertimbangan putusan.
"Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," lanjut pengganti Aswanto itu.
Jika diperhatikan, sikap para hakim konstitusi yang tersisa sejak 2020 tidak berubah sama sekali.
Hanya saja, komposisinya berbalik arah dengan ketiadaan Aswanto dan hadirnya Guntur: dari semula 5 versus 4, menjadi 4 versus 5.
Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo, kini berganti posisi menjadi pihak yang berseberangan (dissenting).
Sementara itu, Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic Foekh, dan Manahan Sitompul kini ada di kubu mayoritas karena keberadaan Guntur Hamzah yang menganggap Ciptaker tidak melanggar konstitusi.
Partai Buruh menuding hal ini tak bisa dilepaskan dengan konspirasi di balik penggantian Aswanto secara sepihak oleh DPR.
"Perubahan satu hakim MK dalam hal ini Aswanto menjelaskan, Partai Buruh berpendapat, ada 'konspirasi jahat' dari DPR dan pemerintah," ujar Presiden Partai Buruh Said Iqbal kepada wartawan selepas sidang pembacaan putusan, Senin.
"Karena dari pembacaan tadi, menjelaskan hakim yang menggantikan hakim Aswanto adalah penentu putusan tadi yang sekarang berbalik 4 pro kepada penggugat dan 5 kepada pemerintah dan DPR RI," tambahnya.
Partai Buruh mengeklaim akan mengorganisasi pemogokan nasional pada akhir Oktober atau awal November 2023 sebagai respons. Mereka juga mengancam akan mengadukan para hakim konstitusi yang tidak dissenting untuk diperiksa secara etik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.