Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Anggap Perppu Ciptaker Jokowi Penuhi Syarat Kegentingan yang Memaksa

Kompas.com - 02/10/2023, 19:21 WIB
Vitorio Mantalean,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) memenuhi unsur kegentingan yang memaksa.

MK menganggap, dalil pemohon dari sejumlah serikat, konfederasi, dan partai buruh bahwa pembentukan perppu itu tidak sah karena tak ada kegentingan yang memaksa, tidak beralasan menurut hukum.

Sebaliknya, majelis hakim setuju begitu saja terhadap keterangan ahli presiden dalam persidangan pada 23 Agustus 2023 dan secara tertulis.

"Berdasarkan fakta dalam persidangan, terungkap bahwa pertimbangan presiden untuk mengambil langkah dengan menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dilakukan terlebih dahulu untuk merevisi UU Nomor 11 Tahun 2020, adalah karena terjadinya krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu," kata hakim konstitusi, Daniel Yusmic Foekh, membacakan pertimbangan putusan pada Senin (2/10/2023).

"Dikarenakan (salah satunya faktor pemicu), adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19 yang menerpa dunia termasuk Indonesia dan tidak diketahui kapan berakhirnya," tutur dia.

Baca juga: Gugatan Buruh Ditolak MK, Presiden KSPSI: Melukai Rasa Keadilan Buruh

Daniel mengatakan, menurut Istana, dalam kondisi seperti itu, pemerintah tetap harus mempertahankan performa perekonomian negara agar tidak jatuh sebagaimana negara-negara lainnya.

"Sehingga perlu bauran kebijakan yang antisipatif dan solutif sekaligus memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2020," ujar dia. 

MK mengamini bahwa presiden, dalam mengundangkan perppu harus memperhatikan syarat konstitusional soal kegentingan yang memaksa.

MK menyampaikan, meski presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk menilai secara subyektif apa yang dimaksud dengan "kegentingan yang memaksa", perdebatan itu selesai setelah DPR RI menetapkan Perppu Ciptaker sebagai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.

"Persetujuan DPR tersebut adalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan sebagai wujud pelaksanaan prinsip checks and balances," kata Daniel.

"Sehingga, ruang penilaian terhadap parameter kegentingan yang memaksa hanya ada di DPR dan telah selesai ketika DPR memberikan persetujuannya," ujar dia.

Baca juga: Gugatan Buruh Ditolak, MK Putuskan Perppu Cipta Kerja Tak Cacat Formil

Seandainya pun MK diberi kesempatan menilai, kata Daniel, Mahkamah juga menganggap proses terbitnya Perppu Ciptaker telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa

"Terlebih, membuat revisi UU Nomor 11 Tahun 2020 secara prosedur biasa memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," kata Daniel.

Dalam sidang pembacaan putusan hari ini, MK memutus UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU tidak cacat formil.

Hal itu diputuskan dalam sidang pembacaan putusan yang dihadiri 9 hakim konstitusi, Senin (2/10/2023).

Empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo, berselisih pandangan (dissenting opinion).

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan perkara nomor 54/PUU-XXI/2023.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Baca juga: Kawal Judicial Review UU Cipta Kerja, Partai Buruh Akan Gelar Unjuk Rasa

Pemohon mendalilkan bahwa penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU oleh DPR melanggar konstitusi karena dilakukan pada masa sidang keempat, padahal perppu itu diteken Presiden Joko Widodo pada masa sidang kedua.

Mahkamah menganggap wajar jika DPR butuh waktu lama untuk menetapkan perppu itu menjadi undang-undang karena Perppu Ciptaker bersifat omnibus yang mencakup 78 undang-undang lintas sektor.

Majelis hakim juga menilai, parlemen tidak buang-buang waktu untuk me-review perppu itu sejak menerima surat presiden.

Lalu, soal ketiadaan partisipasi bermakna publik dalam pembentukan undang-undang itu, MK juga menilainya tak beralasan menurut hukum.

Menurut majelis hakim, partisipasi publik yang bermakna tidak dapat dikenakan pada undang-undang yang sifatnya menetapkan perppu karena perppu membutuhkan waktu cepat untuk diundangkan karena kegentingan yang memaksa.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945," ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah membacakan pertimbangan putusan.

"Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 22023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata dia.


Perkara ini diajukan oleh 15 pemohon berbentuk serikat/konfederasi serikat buruh, dengan eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana cs sebagai advokat.

Pada sidang pembacaan putusan hari ini, terdapat 4 perkara sejenis yang putusannya belum dibacakan.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Nasional
Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Nasional
 Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Nasional
PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com