Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Tak Masalah Proses Penetapan UU Ciptaker Tak Selaras UUD 1945

Kompas.com - 02/10/2023, 18:42 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) tak mempermasalahkan penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tak sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 22 ayat (2) dan 52 ayat (1), bahwa perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut dan perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

Faktanya, Perppu Ciptaker diundangkan pada 30 Desember 2022, atau pada masa sidang II DPR. Surat presiden perihal RUU Penetapan Perppu Ciptaker diterima parlemen pada 9 Januari 2023, tepat di hari terakhir masa sidang II DPR.

Baca juga: DPR Sebut Selesaikan 11 UU pada Masa Sidang IV, Ada Perppu Ciptaker dan Perppu Pemilu

Sementara itu, persetujuan Perppu Ciptaker menjadi UU baru dilakukan pada Rapat Paripurna masa sidang IV, 21 Maret 2023.

MK mengakui, dengan ketentuan pada UUD 1945, seharusnya persetujuan Perppu Ciptaker menjadi UU dilakukan pada masa sidang II atau III.

Namun, MK justru menyampaikan argumentasi untuk membenarkan langkah Senayan.

Majelis hakim menyoroti bahwa Perppu Ciptaker tak dapat disamakan dengan perppu lainnya, karena sifatnya omnibus menghimpun 78 undang-undang lintas sektor.

Baca juga: Mahasiswa dari Puluhan Kampus Akan Demo Tolak Perppu Ciptaker 6 April

"Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam," kata hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh membacakan pertimbangan putusan, Senin (2/10/2023).

Majelis hakim justru mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang menyerahkan surpres pada masa sidang yang sama dengan penetapan perppu, padahal surpres dapat dilayangkan ke parlemen pada masa sidang berikutnya, berdasarkan Pasal 52 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.

"Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan," ucap Daniel.

Baca juga: BEM UI Protes Perppu Ciptaker, Faldo Maldini: Narasinya Mirip Kelompok Anti-Pemerintah

Dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR.

Majelis hakim menambahkan, adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai memutuskan sikap terkait Perppu Ciptaker pada masa sidang IV "tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu" serta tak melebihi masa sidang IV.

"Sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian 'persidangan yang berikut' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945," ucap Daniel.

Sebelumnya diberitakan, dalam sidang pembacaan putusan hari ini, MK memutus UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU tidak cacat formil.

Hal itu diputuskan dalam sidang pembacaan putusan yang dihadiri 9 hakim konstitusi, Senin (2/10/2023).

Empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo, berselisih pandangan (dissenting opinion).

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan perkara nomor 54/PUU-XXI/2023.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Pemohon, di antaranya, menilai bahwa penerbitan perppu itu tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Akan tetapi, MK mengamini argumen pemerintah yang disampaikan dalam persidangan, bahwa Perppu Ciptaker itu genting untuk diteken.

Kegentingan itu berupa, "krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19".

Baca juga: Sahkan Perppu Ciptaker Jadi UU, Buruh: DPR RI Hanya Stempel Pemerintah

Perdebatan soal kegentingan yang memaksa itu, menurut Mahkamah, sudah selesai ketika DPR menyetujui penetapan Perppu Ciptaker menjadi undang-undang.

Lalu, soal ketiadaan partisipasi bermakna publik dalam pembentukan undang-undang itu, MK juga menilainya tak beralasan menurut hukum. Menurut majelis hakim, partisipasi publik yang bermakna tidak dapat dikenakan pada undang-undang yang sifatnya menetapkan perppu, sebab perppu membutuhkan waktu cepat untuk diundangkan karena kegentingan yang memaksa.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945," ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah membacakan pertimbangan putusan.

"Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 6 Tahun 22023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," lanjutnya.

Sebagai informasi, perkara ini diajukan oleh 15 pemohon berbentuk serikat/konfederasi serikat buruh, dengan eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana cs sebagai advokat.

Pada sidang pembacaan putusan hari ini, masih terdapat 4 perkara sejenis yang putusannya belum dibacakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com