Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 22 ayat (2) dan 52 ayat (1), bahwa perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut dan perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
Faktanya, Perppu Ciptaker diundangkan pada 30 Desember 2022, atau pada masa sidang II DPR. Surat presiden perihal RUU Penetapan Perppu Ciptaker diterima parlemen pada 9 Januari 2023, tepat di hari terakhir masa sidang II DPR.
Sementara itu, persetujuan Perppu Ciptaker menjadi UU baru dilakukan pada Rapat Paripurna masa sidang IV, 21 Maret 2023.
MK mengakui, dengan ketentuan pada UUD 1945, seharusnya persetujuan Perppu Ciptaker menjadi UU dilakukan pada masa sidang II atau III.
Namun, MK justru menyampaikan argumentasi untuk membenarkan langkah Senayan.
Majelis hakim menyoroti bahwa Perppu Ciptaker tak dapat disamakan dengan perppu lainnya, karena sifatnya omnibus menghimpun 78 undang-undang lintas sektor.
"Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam," kata hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh membacakan pertimbangan putusan, Senin (2/10/2023).
Majelis hakim justru mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang menyerahkan surpres pada masa sidang yang sama dengan penetapan perppu, padahal surpres dapat dilayangkan ke parlemen pada masa sidang berikutnya, berdasarkan Pasal 52 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
"Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan," ucap Daniel.
Dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR.
Majelis hakim menambahkan, adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai memutuskan sikap terkait Perppu Ciptaker pada masa sidang IV "tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu" serta tak melebihi masa sidang IV.
"Sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian 'persidangan yang berikut' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945," ucap Daniel.
Sebelumnya diberitakan, dalam sidang pembacaan putusan hari ini, MK memutus UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU tidak cacat formil.
Hal itu diputuskan dalam sidang pembacaan putusan yang dihadiri 9 hakim konstitusi, Senin (2/10/2023).
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan perkara nomor 54/PUU-XXI/2023.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pemohon, di antaranya, menilai bahwa penerbitan perppu itu tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Akan tetapi, MK mengamini argumen pemerintah yang disampaikan dalam persidangan, bahwa Perppu Ciptaker itu genting untuk diteken.
Kegentingan itu berupa, "krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19".
Perdebatan soal kegentingan yang memaksa itu, menurut Mahkamah, sudah selesai ketika DPR menyetujui penetapan Perppu Ciptaker menjadi undang-undang.
Lalu, soal ketiadaan partisipasi bermakna publik dalam pembentukan undang-undang itu, MK juga menilainya tak beralasan menurut hukum. Menurut majelis hakim, partisipasi publik yang bermakna tidak dapat dikenakan pada undang-undang yang sifatnya menetapkan perppu, sebab perppu membutuhkan waktu cepat untuk diundangkan karena kegentingan yang memaksa.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945," ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah membacakan pertimbangan putusan.
"Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 6 Tahun 22023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," lanjutnya.
Sebagai informasi, perkara ini diajukan oleh 15 pemohon berbentuk serikat/konfederasi serikat buruh, dengan eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana cs sebagai advokat.
Pada sidang pembacaan putusan hari ini, masih terdapat 4 perkara sejenis yang putusannya belum dibacakan.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/02/18420061/mk-tak-masalah-proses-penetapan-uu-ciptaker-tak-selaras-uud-1945