Referensi terbaru tentu pemilihan presiden 2019 lalu, di mana Jokowi berpasangan dengan tokoh senior NU, KH Ma’ruf Amin, yang ikut memastikan bertahannya Jokowi di Istana sampai hari ini.
Preseden politik lainnya adalah pemilihan presiden 2004, di mana Megawati berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi. Namun tahun itu, Megawati dan PDIP harus menelan kekalahan yang cukup telak dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
Pun di saat Megawati menjadi presiden, Megawati ditemani tokoh yang juga diidentifikasi memiliki latar NU, yakni Hamzah Haz.
Selama keduanya berpasangan sebagai presiden dan wakil presiden, nyaris tak ada ketegangan politik yang berarti di antara keduanya, layaknya ketegangan politik antara SBY dan JK, yang membuat SBY kemudian harus memilih Boediono pada pemilihan presiden 2009.
Namun jika dikaitkan dengan potensi elektoral dari koalisi PDIP dan kalangan Nahdliyin, era Megawati dan Hamzah Haz semestinya tak dijadikan referensi dan preseden, karena tidak dipilih melalui pemilihan langsung.
Jadi yang layak dijadikan pertimbangan hanya pemilihan 2004 dan 2019 di mana PDIP sama-sama menggandeng tokoh NU sebagai calon wakil presiden.
Dari kedua preseden tersebut, maka hasilnya ternyata sangat tidak meyakinkan. Pada 2004, Megawati dan KH Hasyim Muzadi kalah telak.
Sementara 2019, Jokowi dan Ma’ruf Amin menang, tapi tidak telak, alias dengan marjin yang tidak terlalu lebar.
Artinya apa? Artinya, belum ada jaminan pasti bahwa bakal calon presiden dari PDIP akan menang jika kembali dipasangkan dengan tokoh NU.
Selain dua referensi di atas yang hasilnya masih 50:50, karena yang pertama kalah dan yang kedua menang, ada beberapa hal lagi yang harus ditimbang secara mendalam oleh PDIP.
Pertama, pada Pilpres 2019, Jokowi berpasangan dengan calon wakil presiden dari NU non Jawa, yang punya basis suara di Banten dan Jawa Barat.
Jadi kala itu suara Jokowi cukup terbantu oleh Ma’ruf Amin di Banten dan Jawa Barat, bukan hanya di Jawa Timur karena alasan Ma’ruf Amin adalah tokoh senior NU.
Dengan kata lain, jika PDIP masih bertahan dengan rumusan klasik untuk tetap mencari celah bersama dengan tokoh NU, maka tokoh tersebut harusnya memiliki potensi suara di kantong suara yang memiliki pemilih besar, terutama Jawa Barat dan Banten, alias tidak hanya Jawa Timur.
Kedua, pemilihan Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon wakil presiden Anies Baswedan akan sangat berpengaruh pada suara Nahdliyin tahun 2024 nanti.
Prabowo mengalami kekalahan pada 2019, karena Sandiaga Uno tidak mampu menopang suara Prabowo di kantong-kantong suara Nahdliyin.