Namun Susilo Bambang Yudhoyono bisa mengalahkan Megawati pada 2004, tak lepas dari ketokohan JK di kalangan Nahdliyin dan organisasi NU.
Dengan asumsi itu, Cak Imin sangat berpeluang mengemban fungsi sebagaimana fungsi elektoral JK tahun 2004 yang membuat Megawati dan KH Hasyim Muzadi kalah.
Apalagi, Cak Imin adalah ketua partai yang memang dianggap sebagai salah satu corong politik utama NU selama ini.
Sementara Sandiaga Uno tidak menjalankan fungsi itu pada 2019, yang akhirnya membuat Jokowi dan Ma’ruf Amin bisa menang tipis dari Prabowo.
Artinya, pada putaran awal pemilihan, Ganjar Pranowo dan siapapun tokoh Nahdliyin yang ia gandeng diperkirakan akan bersaing super ketat dengan Anies Baswedan dan Cak Imin di kantong-kantong suara Nahdliyin.
Sekalipun relasi Ganjar Pranowo dan PDIP selama ini sangat baik dengan NU dan tokoh-tokoh NU, relasi Cak Imin dan PKB dengan NU dan kalangan Nahdliyin juga tak bisa dianggap sebelah mata. Potensinya dalam menggasak suara di kantong pemilih Nahdliyin tetap sangat besar.
Arti lanjutannya, jika pemasangan Ganjar Pranowo dengan tokoh NU lainnya tidak dihitung secara seksama dan detail, maka keputusan tersebut di tataran operasional berpotensi mengalami hal serupa dengan yang dialami oleh Megawati - KH Hasyim Muzadi tahun 2004, alias bukan menuai kemenangan layaknya Jokowi dan Ma’ruf Amin pada 2019.
Pada tulisan terdahulu, saya mencoba menjawab dilema ini dengan melebarkan wilayah pertarungan ke Jawa Barat dengan menggandeng Ridwan Kamil (RK). Namun nampaknya prasyarat politik tak terpenuhi untuk itu.
Karena itu, kalkulasi mendalam lainnya harus dilakukan, agar bakal cawapres lainnya bisa mengurai dilema elektoral di atas.
Asumsikan, misalnya, memang dengan Mahfud MD, sebagaimana ramai diberitakan belakangan. Maka kekuatan elektoral Mahfud harus benar-benar diuji terlebih dahulu, bukan saja untuk Jawa Timur dan Madura, tapi juga untuk Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten, dan luar Jawa.
Karena jika Ganjar dipasangkan dengan Mahfud MD, maka secara etnis komposisinya menjadi "Jawa-Jawa".
Sementara saat PDIP memasangkan Jokowi dengan Ma’ruf Amin dan memenangkan pemilihan, komposisinya bukan "Jawa-Jawa".
Meskipun Ma’ruf Amin bukanlah dari luar Pulau Jawa, namun secara etnis Ma’ruf Amin bukanlah dari etnis Jawa, tapi Banten, yang membuatnya mudah diterima di luar teritori yang dihuni oleh etnis Jawa, seperti Provinsi Banten dan Jawa Barat.
Apalagi di pemilihan mendatang, jumlah pemilih tetap di kedua provinsi sangatlah besar, karena itu akan menjadi faktor yang sangat menentukan.
Berdasaskan data pemilih tetap Komisi Pemilihan Umum (KPU), di Provinsi Jawa Barat saja tercatat 35.714.901 pemilih, jauh di atas Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah pemilih tetap sebesar 28.289.413 pemilih dan juga masih di atas jumlah pemilih tetap di Provinsi Jawa Timur yang sebesar 31.402.838 pemilih.
Apalagi ditambah dengan potensi suara di Provinsi Banten yang tercatat sebesar 8.842.646 pemilih.
Jadi pendek kata, jika PDIP memang tetap mempertahankan formula lama, yakni berpasangan dengan tokoh NU, baik Mahfud MD maupun tokoh NU lainnya, maka dilema-dilema di atas harus benar-benar bisa terjawab terlebih dahulu.
Tokoh tersebut bukan hanya untuk memenangkan Ganjar Pranowo di Jawa Timur, tapi juga bisa memberikan kontribusi suara yang signifikan dari kantong padat pemilih seperti Jawa Barat, Banten, dan beberapa kawasan utama di luar Jawa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.