SETELAH Mohamed Hosni Said Mubarak atau lebih dikenal dengan sebutan Hosni Mubarak yang berlatar militer terpilih lagi sebagai Presiden Mesir untuk keempat kalinya pada 2001, Susan Mubarak (istri Hosni Mubarak/Suzanne Mubarak) ternyata juga menyiapkan putra mereka, Gamal Mubarak sebagai penerusnya.
Gamal yang sudah banyak membangun jaringan dengan kalangan elite politik dan pengusaha Mesir pun masuk partai dan memulai karier politik.
Namun, ketika itu Hosni masih berhasrat untuk terus berkuasa, sehingga perang dingin terjadi di dalam keluarga Hosni sendiri.
Di satu sisi ada Susan dan Gamal, di sisi lain ada Hosni, sang bapak, ditambah dengan anaknya yang lain, yaitu Ala Mubarak yang sebenarnya cenderung netral.
Sampai akhirnya pada 2009, sang cucu kesayangan meninggal dunia karena penyakit. Cucu tersebut adalah Muhammed, anak dari Ala, kakak Gamal Mubarak.
Santer dikabarkan secara semangat hidup Hosni ‘ikut terkubur’ bersama cucunya itu, karena begitu sayangnya beliau kepada sang cucu.
Dengan kata lain, hasrat Hosni untuk terus berkuasa hilang setelah kematian cucu kesayangannya itu.
Dan Hosni sesungguhnya sudah menyiapkan diri untuk "step down," secara prosedural. Lalu menyerahkan tampuk kekuasaan kepada sang anak, setelah infrastruktur politik Gamal Mubarak siap tentunya.
Di sisi lain, Gamal akhirnya memenangkan pemilihan secara telak, tentunya dengan banyak kecurangan dan lainnya di pemilihan tahun 2010, tipikal ‘standar’ dalam pemilihan di negara otoritarian.
Ketika itu, Gamal menjadi sosok penguasa mayoritas yang nyaris tanpa oposisi di Parlemen negeri Fir’aun itu.
Semua terlihat berjalan sangat baik sesuai rencana. Gamal menunggu selangkah lagi menuju bangku presiden, sebagai penerus dinasti Hosni Mubarak.
Namun awal 2011, Tunisia bergejolak. Arab Spring datang menyambangi. Presiden Ben Ali pun "selesai" seketika di Tunisia.
Tak ada yang pernah menduga awal dari fenomena politik dahsyat bernama "Arab Spring" bermula di Tunisia, dengan peristiwa pemicunya adalah seorang pedagang kaki lima yang membakar diri setelah barang dagangannya disita polisi setempat.
Begitulah yang terjadi. Amarah dan kebencian publik kepada penguasa bisa saja tidak terlihat untuk waktu lama. Bukan berarti tidak berbahaya, karena sebenarnya amarah dan kebencian tersebut hanya menunggu waktu dan pemicu yang tepat lalu meledak.
Awalnya, Hosni Mubarak tak percaya gelombang Arab Spring dari Tunisia akan tumpah hingga ke Mesir. Namun setelah benar-benar terjadi, Hosni menyadari bahwa tingkat antipati dan kebencian publik Mesir ternyata juga tak kalah hebatnya dibanding Tunisia.
Menyadari itu, Hosni kemudian bertindak dengan membatalkan semua posisi kabinet dan bersiap melakukan reformasi. Hampir persis dengan Soeharto awal 1997, ketika krisis finansial mulai merembes dari Thailand ke Indonesia.
Sayangnya, langkah–langkah dadakan tersebut ternyata tidak cukup dan sangat terlambat. Massa semakin menggila. Aparat pun demikian. Korban berjatuhan.
Dan dari kejauhan, sang aliansi strategis, Barack Obama yang kala itu adalah Presiden Amerika Serikat, memberikan pidatonyo khusus terkait peristiwa di Mesir.
Isi utamanya adalah menurut sang aliansi utama; Amerika Serikat, era Hosni sudah selesai di Mesir.
Sang diktator yang telah berada di takhta kekuasaan negara Piramida selama 30 tahun itu tentu kaget bukan kepalang.
Hosni tak habis pikir. Ia merasa sudah berjuang habis-habisan untuk kepentingan sang aliansi sejak pertama kali menjadi presiden menggantikan Presiden Anwar Sadat yang terbunuh, tapi kini ia merasa ditusuk dari belakang oleh pihak yang pernah ia bela dan perjuangkan.
Sementara itu, sebelum Hosni mengasingkan diri, pertengkaran terjadi di dalam keluarga itu. Gamal dan Susan bersitegang dengan Hosni, yang dianggapnya terlalu lama menurunkan takhta kekuasaan ke Gamal, yang akhirnya didahului peristiwa Arab Spring.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.