Dengan kata lain, meskipun tidak ada kaitan langsung antara kasus Pulau Rempang dan Puhowato, tapi saya cukup yakin, ada keterikatan emosional antara kedua masyarakat di kedua lokasi.
Keberanian masyarakat Pulau Rempang untuk mengekspresikan penolakannya kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab ikut memicu keberanian masyarakat Pohuwato dalam melakukan hal serupa.
Karena itu, efek domino ini harus ditangkap oleh pemerintah sebagai warning bahwa jika pemerintah tidak segera melakukan perubahan paradigma dalam menyelesaikan masalah konflik agraria terkait dengan keberadaan investasi di suatu daerah, maka ratusan kasus yang disebutkan oleh Komnas HAM di atas akan berpotensi berubah menjadi kasus seperti Pulau Rempang dan Puhowato.
Dalam kasus Pulau Rempang dan Pohuwato, semua elemen masyarakat harus dilibatkan secara intensif dan kualitatif.
Di Pulau Rempang, masyarakat penghuni desa kuno harus ikut menjadi pelaku dan menjadi bagian penting dalam pembangunan Eco City Rempang, sebagaimana saya tulis pada tulisan sebelumnya.
Sementara untuk kasus Pohuwato, pemerintah sebaiknya memperjelas legitimasi status Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), yang diakui setara dengan status izin yang dimiliki oleh perusahaan.
Apalagi bagi rakyat penambang yang sudah lebih dulu menambang di lokasi tersebut dibanding perusahaan.
Selain itu, program-program Corporate Social Responsibility harus ditingkatkan dengan ide dan pendekatan yang lebih kreatif, agar lebih mewakili semua kebutuhan masyarakat setempat dikaitkan dengan imbas negatif yang mereka terima dari kehadiran investasi baru di sana.
Tidak saja soal transisi profesi untuk yang kehilangan pekerjaan, tapi juga program lainnya, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi komunitas.
Pendeknya, paradigma kebijakan dan gaya pemerintah dalam melihat investasi harus diubah. Perpaduan antara paradigma State Based Governance dan Market Based Governance harus diimbangi dengan paradigma Society Based Governance.
Pemerintah di satu sisi tidak bisa lagi menghadirkan dirinya sebagai "negara aparat" dan investasi yang datang harus diadaptasikan dan diintegrasikan secara komprehensif dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat di sisi lain.
Karena negara ini adalah negara demokrasi. Kedaulatan dan kepentingan rakyat harus menjadi pertimbangan utama, dalam segala keputusan dan kebijakan pemerintah. Berapapun besarnya investasi yang akan masuk, semestinya tidak akan mengubah relasi tersebut.
Rakyat adalah raja, investor hanya tamu. Jika investor ingin mengusahakan sesuatu di suatu lokasi, maka mintalah kepada otoritas terkait untuk berdamai terlebih dahulu dengan rajanya, yakni rakyatnya, jika tak ingin diamuk seperti di Batam dan Puhowato.
Karena pada dasarnya, rakyat pada umumnya dan masyarakat setempat pada khususnya adalah perisai sejati bagi investasi yang datang, perisai dari segala gangguan.
Dengan lain perkataan masyarakat adalah mitra utama yang harus didahulukan oleh investor dan otoritas terkait.
Hal tersebut bisa terjadi jika keberadaan investasi memang memberikan manfaat kepada masyarakat setempat, menghormati serta meninggikan harga diri, nilai budaya, dan kehormatan kolektif masyarakat setempat, dan selalu membangun komunikasi secara interaktif dengan seluruh elemen masyarakat setempat secara berkala dan berkelanjutan.
Semoga pemerintah benar-benar mengambil pelajaran penting dari kasus di Pulau Rempang dan Pohuwato. Jika tak mampu memetik pelajaran, dan kejadian serupa berulang di lokasi lain, keterlaluan sekali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.