Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Rempang dan Pahuwato Membara, Lampu Kuning untuk Penguasa dan Pengusaha

Kompas.com - 24/09/2023, 06:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun jika diagregasi institusi pemerintah secara umum, baik pusat, daerah, dan institusi kepolisian, maka sebenarnya secara persentasi pemerintah adalah pihak yang juga paling banyak diadukan oleh masyarakat terkait dengan konflik agraria.

Hal tersebut sangat bisa dipahami, karena berdasarkan data dari Komnas HAM, penyebab konflik agraria yang terus terjadi memang berkaitan dengan kebijakan dan keputusan pemerintah, baik di tingkat nasional, lokal, maupun secara sektoral.

Peningkatan jumlah pengaduan konflik agraria yang diterima oleh Komnas HAM disebabkan oleh ketidakmemadainya resolusi yang ada, kurangnya koordinasi yang efektif antar-kementerian, dan adanya ego sektoral yang tinggi antarlembaga pemerintah.

Pun Komnas HAM juga mengungkapkan bahwa 80 persen dari pengaduan konflik agraria terkait dengan konflik lahan dan pertanahan.

Sementara, menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sepanjang 2022 terjadi 497 kasus kriminalisasi pejuang hak atas tanah atau konflik agraria (land rights defenders).

Dari 497 kasus, sebanyak 38 kasus terjadi penganiayaan, 3 kasus mengalami luka tembak, dan 3 tewas. Data KPA, jumlah masyarakat yang dikriminalisasi dalam kasus konflik agraria meningkat dibanding tahun 2021 yang jumlahnya 150 kasus.

Jadi, baik dalam kasus konflik agraria pada umumnya, maupun pada kasus Pulau Rempang dan Pohuwato, sangat jelas bahwa pertama, ada masalah kebijakan yang tidak sensitif dengan keberadaan dan keberlangsungan masyarakat setempat.

Kedua, ada masalah koordinasi antarlembaga pemerintah.

Ketiga, buruknya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat setempat, antara pemerintah dan pengusaha, dan antara pengusaha dengan masyarakat setempat.

Keempat, masalah yang nampaknya menjadi sebab awal dari semua simpang siur kebijakan pemerintah di atas, adalah adanya keberpihakan yang berlebihan dari pihak pemerintah kepada pengusaha dan investor, atas nama kepentingan pertumbuhan ekonomi nasional.

Memang investasi adalah salah satu kontributor pertumbuhan ekonomi yang sangat diharapkan pemerintah saat ini, karena memiliki multiplier effect kepada pembukaan lapangan pekerjaan dan imbas ekonomi lainnya ke sektor lain.

Namun pemerintah tetap harus memiliki harga diri dalam mencari investasi di satu sisi dan harus menjadi garda terdepan dalam menjaga harga diri masyarakat setempat di sisi lain, bukan malah sebaliknya.

Apalagi dengan melibatkan aparat keamanan yang ujungnya justru bertindak layaknya musuh atas rakyat setempat.

Dengan kata lain, tidak berarti pemerintah harus grasah grusuh sampai harus menggusur rakyatnya secara dadakan, hanya karena ada investor yang "kebelet" ingin berinvestasi di satu sisi dan pemerintah yang terlalu haus pada investasi di sisi lain.

Jika pemerintah tidak mengubah paradigma "menghamba" investor seperti hari ini, saya kira, kasus seperti yang terjadi di Pulau Rempang dan Pohuwato akan kembali terjadi di lokasi konflik agraria lainnya.

Karena besar dugaan saya, ada efek domino dari Pulau Rempang ke Pohuwato. Keberanian masyarakat Pohuwato semakin menguat setelah melihat aksi masyarakat Pulau Rempang yang berdemontrasi di kantor BP Batam dan Wali Kota Batam, di mana massa melempari kedua kantor tersebut secara emosional.

Efek domino ini lahir dari hasil identifikasi persoalan oleh masyarakat di kedua daerah di mana kesimpulan yang lahir adalah pemerintah lebih memilih berpihak kepada investor dan pengusaha ketimbang kepada masyarakat setempat.

Walhasil, lahir rasa senasib di antara kedua masyarakat setempat, baik di Pulau Rempang maupun di Pohuwato, yang akhirnya mengharuskan mereka untuk menunjukkan rasa amarahnya kepada pemerintah dan dunia usaha.

Di Batam, karena investasinya belum terjadi, maka yang menjadi sasaran kemarahan adalah BP Batam dan Wali Kota Batam.

Sementara di Pohuwato, massa bertindak agresif kepada kedua pihak, baik pemerintah daerah maupun kepada pihak perusahaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com