Salin Artikel

Rempang dan Pahuwato Membara, Lampu Kuning untuk Penguasa dan Pengusaha

Rencana investasi jumbo dari investor asing mendapat resistensi yang cukup masif oleh warga setempat, terutama warga yang merasa telah tinggal di Pulau Rempang secara turun temurun.

Resistensi lahir di saat eksekusi relokasi atau penggusuran akan dilangsungkan oleh pihak pemerintah, yang diwakili oleh BP Batam dan Pemerintah Kota Batam.

Walhasil, konflik terbuka antara aparat keamanan dengan masyarakat setempat tak terhidarkan. Kemudian, aksi balasan berlanjut dengan aksi untuk rasa yang cukup frontal di kantor BP Batam dan Wali Kota Batam.

Rentetan peristiwa yang terjadi secara berkelanjutan dalam beberapa hari tersebut akhirnya menjadi isu nasional yang ikut membuat banyak tokoh nasional dan ormas-ormas kelas wahid merasa harus ikut memberikan pernyataan sikap. Bahkan, kasus Pulau Rempang ini juga menjadi salah satu bahasan di media asing.

Hari ini, langkah-langkah resolutif yang sedang diambil pemerintah sudah mulai memperlihatkan hasil. Setidaknya, untuk sementara waktu telah berhasil meredam konflik terbuka antara kedua belah pihak.

Namun belum tuntas urusan Pulau Rempang, kini muncul gejolak baru. Kali ini kericuhan terjadi akibat demonstrasi yang digelar oleh ratusan penambang di kantor Bupati Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Kamis (21/9/2023).

Dalam aksi amuk massa tersebut, massa membakar Kantor Bupati Pohuwato dan merusak fasilitas di perusahaan tambang emas milik Pani Gold Project.

Fasilitas pemerintah yang dirusak massa di antaranya Kantor Bupati, Kantor DPRD Pohuwato, dan rumah dinas Bupati.

Demonstran yang tergabung dalam Forum Persatuan Ahli Waris IUP (Izin Usaha Pertambangan) OP (Operasi Produksi) 316 dan ahli waris penambang Pohuwato di kawasan perusahaan Pani Gold Project menuntut agar Pani Gold Project mengembalikan lokasi warisan leluhur masyarakat penambang Pohuwato dan mendesak agar Pani Gold Project menghentikan aktivitas penambangan dan menyelesaikan ganti rugi lahan yang menjadi hak penambang.

Selain masalah pengembalian lahan dan ganti rugi lahan, soal masalah pengerusakan lingkungan dan masalah perizinan perusahaan tambang di Pohuwato juga ikut diangkat oleh beberapa pihak, terutama dari beberapa LSM di Sulawesi.

Kasus di Pulau Rempang dan Pohuwato nyatanya hanya segelintir kasus yang menggambarkan kerumitan urusan konflik agraria di Indonesia akibat berbagai persoalan, baik karena buruknya tata regulasi dari pemerintah, keberpihakan pemerintah yang terlalu berlebihan kepada investasi/pengusaha, sampai pada masalah buruknya model dan gaya komunikasi pemerintah dengan masyarakat di lokasi investasi dilangsungkan.

Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kasus Pulau Rempang dan Pohuwato hanya dua kasus dari ratusan kasus konflik agraria di negeri ini. Bahkan, telah terjadi peningkatan eskalasi konflik agraria di berbagai wilayah di Indonesia.

Dalam delapan bulan terakhir, Komnas HAM mencatat sebanyak 692 kasus konflik agraria yang dilaporkan, yang setara dengan rata-rata empat kasus setiap harinya.

Data mengenai konflik agraria mencakup periode delapan bulan terakhir, menurut perhitungan yang dilakukan oleh Komnas HAM.

Lima provinsi yang melaporkan jumlah konflik agraria terbanyak adalah DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Dari data Komnas HAM, sebagian besar kasus tersebut mengandung dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Empat hak asasi manusia yang paling sering diduga dilanggar adalah hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup.

Dalam hal klasifikasi pengadu, kelompok masyarakat adalah kelompok yang paling dominan, yakni sebanyak 53 persen dari total pengaduan.

Sementara itu, dalam hal teradu, peringkat tertinggi ditempati oleh korporasi (30,6 persen), Pemerintah Daerah (17,7 persen), pemerintah Pusat (17,6 persen), dan kepolisian (7,4 persen).

Di sini jelas tercermin bahwa korporasi seringkali terlibat dalam kasus konflik agraria di lahan yang ternyata telah diberikan izin oleh pemerintah, tapi tanpa mempertimbangkan keberadaan dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat.

Namun jika diagregasi institusi pemerintah secara umum, baik pusat, daerah, dan institusi kepolisian, maka sebenarnya secara persentasi pemerintah adalah pihak yang juga paling banyak diadukan oleh masyarakat terkait dengan konflik agraria.

Hal tersebut sangat bisa dipahami, karena berdasarkan data dari Komnas HAM, penyebab konflik agraria yang terus terjadi memang berkaitan dengan kebijakan dan keputusan pemerintah, baik di tingkat nasional, lokal, maupun secara sektoral.

Peningkatan jumlah pengaduan konflik agraria yang diterima oleh Komnas HAM disebabkan oleh ketidakmemadainya resolusi yang ada, kurangnya koordinasi yang efektif antar-kementerian, dan adanya ego sektoral yang tinggi antarlembaga pemerintah.

Pun Komnas HAM juga mengungkapkan bahwa 80 persen dari pengaduan konflik agraria terkait dengan konflik lahan dan pertanahan.

Sementara, menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sepanjang 2022 terjadi 497 kasus kriminalisasi pejuang hak atas tanah atau konflik agraria (land rights defenders).

Dari 497 kasus, sebanyak 38 kasus terjadi penganiayaan, 3 kasus mengalami luka tembak, dan 3 tewas. Data KPA, jumlah masyarakat yang dikriminalisasi dalam kasus konflik agraria meningkat dibanding tahun 2021 yang jumlahnya 150 kasus.

Jadi, baik dalam kasus konflik agraria pada umumnya, maupun pada kasus Pulau Rempang dan Pohuwato, sangat jelas bahwa pertama, ada masalah kebijakan yang tidak sensitif dengan keberadaan dan keberlangsungan masyarakat setempat.

Kedua, ada masalah koordinasi antarlembaga pemerintah.

Ketiga, buruknya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat setempat, antara pemerintah dan pengusaha, dan antara pengusaha dengan masyarakat setempat.

Keempat, masalah yang nampaknya menjadi sebab awal dari semua simpang siur kebijakan pemerintah di atas, adalah adanya keberpihakan yang berlebihan dari pihak pemerintah kepada pengusaha dan investor, atas nama kepentingan pertumbuhan ekonomi nasional.

Memang investasi adalah salah satu kontributor pertumbuhan ekonomi yang sangat diharapkan pemerintah saat ini, karena memiliki multiplier effect kepada pembukaan lapangan pekerjaan dan imbas ekonomi lainnya ke sektor lain.

Namun pemerintah tetap harus memiliki harga diri dalam mencari investasi di satu sisi dan harus menjadi garda terdepan dalam menjaga harga diri masyarakat setempat di sisi lain, bukan malah sebaliknya.

Apalagi dengan melibatkan aparat keamanan yang ujungnya justru bertindak layaknya musuh atas rakyat setempat.

Dengan kata lain, tidak berarti pemerintah harus grasah grusuh sampai harus menggusur rakyatnya secara dadakan, hanya karena ada investor yang "kebelet" ingin berinvestasi di satu sisi dan pemerintah yang terlalu haus pada investasi di sisi lain.

Jika pemerintah tidak mengubah paradigma "menghamba" investor seperti hari ini, saya kira, kasus seperti yang terjadi di Pulau Rempang dan Pohuwato akan kembali terjadi di lokasi konflik agraria lainnya.

Karena besar dugaan saya, ada efek domino dari Pulau Rempang ke Pohuwato. Keberanian masyarakat Pohuwato semakin menguat setelah melihat aksi masyarakat Pulau Rempang yang berdemontrasi di kantor BP Batam dan Wali Kota Batam, di mana massa melempari kedua kantor tersebut secara emosional.

Efek domino ini lahir dari hasil identifikasi persoalan oleh masyarakat di kedua daerah di mana kesimpulan yang lahir adalah pemerintah lebih memilih berpihak kepada investor dan pengusaha ketimbang kepada masyarakat setempat.

Walhasil, lahir rasa senasib di antara kedua masyarakat setempat, baik di Pulau Rempang maupun di Pohuwato, yang akhirnya mengharuskan mereka untuk menunjukkan rasa amarahnya kepada pemerintah dan dunia usaha.

Di Batam, karena investasinya belum terjadi, maka yang menjadi sasaran kemarahan adalah BP Batam dan Wali Kota Batam.

Sementara di Pohuwato, massa bertindak agresif kepada kedua pihak, baik pemerintah daerah maupun kepada pihak perusahaan.

Dengan kata lain, meskipun tidak ada kaitan langsung antara kasus Pulau Rempang dan Puhowato, tapi saya cukup yakin, ada keterikatan emosional antara kedua masyarakat di kedua lokasi.

Keberanian masyarakat Pulau Rempang untuk mengekspresikan penolakannya kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab ikut memicu keberanian masyarakat Pohuwato dalam melakukan hal serupa.

Karena itu, efek domino ini harus ditangkap oleh pemerintah sebagai warning bahwa jika pemerintah tidak segera melakukan perubahan paradigma dalam menyelesaikan masalah konflik agraria terkait dengan keberadaan investasi di suatu daerah, maka ratusan kasus yang disebutkan oleh Komnas HAM di atas akan berpotensi berubah menjadi kasus seperti Pulau Rempang dan Puhowato.

Dalam kasus Pulau Rempang dan Pohuwato, semua elemen masyarakat harus dilibatkan secara intensif dan kualitatif.

Di Pulau Rempang, masyarakat penghuni desa kuno harus ikut menjadi pelaku dan menjadi bagian penting dalam pembangunan Eco City Rempang, sebagaimana saya tulis pada tulisan sebelumnya.

Sementara untuk kasus Pohuwato, pemerintah sebaiknya memperjelas legitimasi status Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), yang diakui setara dengan status izin yang dimiliki oleh perusahaan.

Apalagi bagi rakyat penambang yang sudah lebih dulu menambang di lokasi tersebut dibanding perusahaan.

Selain itu, program-program Corporate Social Responsibility harus ditingkatkan dengan ide dan pendekatan yang lebih kreatif, agar lebih mewakili semua kebutuhan masyarakat setempat dikaitkan dengan imbas negatif yang mereka terima dari kehadiran investasi baru di sana.

Tidak saja soal transisi profesi untuk yang kehilangan pekerjaan, tapi juga program lainnya, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi komunitas.

Pendeknya, paradigma kebijakan dan gaya pemerintah dalam melihat investasi harus diubah. Perpaduan antara paradigma State Based Governance dan Market Based Governance harus diimbangi dengan paradigma Society Based Governance.

Pemerintah di satu sisi tidak bisa lagi menghadirkan dirinya sebagai "negara aparat" dan investasi yang datang harus diadaptasikan dan diintegrasikan secara komprehensif dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat di sisi lain.

Karena negara ini adalah negara demokrasi. Kedaulatan dan kepentingan rakyat harus menjadi pertimbangan utama, dalam segala keputusan dan kebijakan pemerintah. Berapapun besarnya investasi yang akan masuk, semestinya tidak akan mengubah relasi tersebut.

Rakyat adalah raja, investor hanya tamu. Jika investor ingin mengusahakan sesuatu di suatu lokasi, maka mintalah kepada otoritas terkait untuk berdamai terlebih dahulu dengan rajanya, yakni rakyatnya, jika tak ingin diamuk seperti di Batam dan Puhowato.

Karena pada dasarnya, rakyat pada umumnya dan masyarakat setempat pada khususnya adalah perisai sejati bagi investasi yang datang, perisai dari segala gangguan.

Dengan lain perkataan masyarakat adalah mitra utama yang harus didahulukan oleh investor dan otoritas terkait.

Hal tersebut bisa terjadi jika keberadaan investasi memang memberikan manfaat kepada masyarakat setempat, menghormati serta meninggikan harga diri, nilai budaya, dan kehormatan kolektif masyarakat setempat, dan selalu membangun komunikasi secara interaktif dengan seluruh elemen masyarakat setempat secara berkala dan berkelanjutan.

Semoga pemerintah benar-benar mengambil pelajaran penting dari kasus di Pulau Rempang dan Pohuwato. Jika tak mampu memetik pelajaran, dan kejadian serupa berulang di lokasi lain, keterlaluan sekali.

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/24/06072051/rempang-dan-pahuwato-membara-lampu-kuning-untuk-penguasa-dan-pengusaha

Terkini Lainnya

RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

Nasional
Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Nasional
DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

Nasional
Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Nasional
Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Nasional
Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Nasional
LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus 'Justice Collaborator'

LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus "Justice Collaborator"

Nasional
Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Nasional
Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Nasional
Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Nasional
Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Nasional
Cecar Sekjen DPR, KPK Duga Ada Vendor Terima Keuntungan dari Perbuatan Melawan Hukum

Cecar Sekjen DPR, KPK Duga Ada Vendor Terima Keuntungan dari Perbuatan Melawan Hukum

Nasional
Nurul Ghufron Sebut Komunikasi dengan Eks Anak Buah SYL Tak Terkait Kasus Korupsi

Nurul Ghufron Sebut Komunikasi dengan Eks Anak Buah SYL Tak Terkait Kasus Korupsi

Nasional
TNI AL Sebut Sumsel dan Jambi Daerah Rawan Penyelundupan Benih Lobster Keluar Negeri

TNI AL Sebut Sumsel dan Jambi Daerah Rawan Penyelundupan Benih Lobster Keluar Negeri

Nasional
Ketua KPK Mengaku Tak Tahu-menahu Masalah Etik Nurul Ghufron dengan Pihak Kementan

Ketua KPK Mengaku Tak Tahu-menahu Masalah Etik Nurul Ghufron dengan Pihak Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke