JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah 19 tahun misteri masih menyelimuti kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib.
Munir mengembuskan napas terkahir pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura.
Menurut pemberitaan surat kabar Kompas pada 8 September 2004, Munir meninggal sekitar 2 jam sebelum pesawat yang ditumpangi mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat.
Melalui otopsi, penyidik Negeri Kincir Angin menemukan senyawa arsenik dalam tubuh mantan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu.
Baca juga: Istri Munir: Kasus Pembunuhan Masih Nyangkut di Komnas HAM
Sejumlah orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir kemudian diadili.
Dalam prosesnya, pengadilan menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto yang merupakan pilot Garuda Indonesia dalam kasus itu.
Pengadilan juga menjatuhkan vonis 1 tahun penjara kepada Indra Setiawan, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia.
Dia dianggap ikut berperan menempatkan Pollycarpus di jadwal penerbangan pesawat yang ditumpangi Munir.
Baca juga: Kekesalan Kasum Ratusan Kali Bertemu Komnas HAM Bahas Kasus Munir, Tak Ada Kemajuan
Dalam fakta persidangan terungkap adanya dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pembunuhan Munir.
Akan tetapi, tidak ada petinggi BIN yang divonis bersalah oleh pengadilan.
Pada 13 Desember 2008, mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwoprandjono yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, divonis bebas dari segala dakwaan.
Dalam mengarungi dunia pegiat, Munir mengawali kariernya dari bawah.
Dia sempat menjadi advokat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Karier dan ketokohannya terus menanjak sampai akhirnya dikenal sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Namanya meroket ketika menjadi salah satu aktivis yang mengawal kasus penculikan sejumlah aktivis pro demokrasi pada 1998.
Karena sepak terjangnya itu, Munir dianugerahi sejumlah penghargaan, yakni penghargaan Yap Thiam Hiem dan Tokoh 1998 dari Majalah Ummat.
Lazimnya individu yang mendapat penghargaan atas prestasinya akan sangat bangga. Akan tetapi, bagi Munir justru sebaliknya.
Baca juga: 19 Tahun Misteri Kematian Munir, Lagu dari Para Aktivis, dan Janji Jokowi
"Saya sungguh takut karena khawatir penghargaan dan ketenaran ini menyebabkan saya tidak mampu mengontrol diri hingga menjadi manusia yang congkak," kata Munir seperti dikutip dari pemberitaan surat kabar Kompas, Selasa, 29 Desember 1998.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, itu mengatakan, kegiatannya sebagai aktivis juga tidak lepas dari dorongan yang diberikan sang istri, Suciwati.
Dalam prosesnya, Majalah Ummat menjaring 3 tokoh yang bakal diberi penghargaan pada saat itu. Mereka adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, para mahasiswa yang meninggal dalam Tragedi 1998, dan Munir.
Setelah proses seleksi, Munir kemudian ditetapkan sebagai penerima penghargaan.
Menurut Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Ummat Syafi'i Anwar, proses penilaian dilakukan selama 1,5 bulan terhadap tokoh bersangkutan.
Baca juga: Istri Mendiang Munir, Suciwati Sesalkan Mangkraknya Museum HAM di Kota Batu
"Kami memilih sosok tokoh yang memiliki kepedulian melawan politik kekerasan. Keberaniannya dilandasi keberpihakannya kepada ide dan visi kemanusiaan universal, yang menurut pengakuannya sendiri disemai oleh ajaran agama yang diyakininya. Dengan dasar pandangan itulah pilihan kami jatuh kepada Munir," papar Syafi'i.
Tujuan Ummat memilih pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965, kata Syafi'i, sekadar mengingatkan masyarakat di Indonesia masih ada orang yang dengan keberanian luar biasa melakukan perlawanan terhadap praktik politik kekerasan.
Munir antara lain telah berjasa melakukan perlawanan terhadap politik kekerasan oleh negara (state violence), terutama kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan aparat militer.
Baca juga: Komnas HAM Janji Selesaikan Penyelidikan Kasus Munir Akhir Tahun Ini, Suciwati: Ini Langkah Maju
"Ketika orang masih ragu, sungkan, dan bahkan takut bicara tentang keterlibatan militer dalam kasus penculikan mahasiswa dan aktivis politik lainnya, Munir bicara lantang mengungkapkan fakta dan kebenaran. Tanpa ragu ia menyingkap berbagai praktik kekejian dan penistaan harkat dan martabat kemanusiaan sejumlah anak bangsa yang seharusnya dilindungi negara," kata Syafi'i.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.