Dapat diartikan bahwa kampanye hanya berlangsung mendekati pemilu untuk menghimpun suara, sedangkan pendidikan politik adalah upaya sadar tiap waktu terhadap kesadaran berpolitik, berbangsa, dan bernegara.
Bila para tokoh politik dan publik figur masuk ke sekolah hanya menjelang pemilu, tentu itu merupakan seburuk-buruknya upaya dalam menghadirkan pendidikan politik.
Para siswa dan subjek pendidikan lainnya sejatinya paham bahwa aktivitas politik di sekolahnya hanyalah obral omongan. Namun, feodalisme yang akan membuat semuanya membisu dan menjalankan perintah begitu saja.
Saya teringat cerita teman, seorang guru PKN. Di kelas materi nasionalisme, dia begitu menggebu-gebu menjelaskan sifat dan karakter kebangsaan. Mulai dari sejarah kebangkitan nasional sampai kesadaran kolektif pascakemerdekaan, semua dilahap dengan retorika seorang pendidik.
Namun, upaya yang dilakukan teman saya tersebut tumpul lantaran siswanya tiap detik melihat sekaligus menyaksikan perilaku korupsi para pejabat pemerintahan dan DPR yang ada di mana-mana. Tiap waktu media siar menayangkan politik yang isinya persoalan-persoalan laten.
Seperti anggota DPR yang tidur saat rapat. Hukuman ringan dan remisi bagi koruptor. Buronan KPK yang tak kunjung tertangkap.
Tidak kalah bikin nyengir, mantan koruptor ternyata masih bisa nyaleg. Terbaru juga bikin heboh, wakil rakyat malah ketahuan masin slot saat rapat di parlemen.
Bila diteruskan, tentu bakal banyak persoalan remeh di luar nalar dan etika pemimpin—yang justru dipraktikkan terang-terangan.
Tentu para pemain politik bisa bersilat lidah dengan mengatakan, semua sudah sesuai aturan perundang-undangan dsb. Namun mereka lupa kalau generasi muda tidak peduli dengan itu.
Mereka dan masyarakat hanya tahu bahwa ada banyak koruptor yang hidupnya masih tenang, damai, dan nyaman sekalipun telah mencuri. Dan rasanya juga, para generasi muda jauh lebih paham bagaimana koruptor bisa hidup kaya ketimbang mengerti nilai-nilai Pancasila.
Kalkulasi sederhana semacam itu yang tumbuh dalam benak generasi muda, bukan kerumitan pasal-pasal yang terkadang dapat diutak-atik argumentasinya sesuai dengan transaksi di meja gelap jual beli.
Jadi, pendidikan politik sudah seharusnya berlangsung dan diselenggarakan tiap waktu dalam keadaan apapun. Terlebih lagi di zaman serba terbuka, para pejabat negara sudah seharusnya mengedepankan sikap politik yang sehat ketimbang utak-atik jabatan, status, dan kekuasaan.
Memperbolehkan ruang-ruang kelas menjadi ajang kampanye agaknya memang suatu kemunduran bagi pendidikan politik.
Pada akhirnya bila putusan ini dijalankan, anak-anak bangsa hanya akan menjadi objek politik. Nasibnya seperti ampas tahu, diperas sampai tetes terakhir sebelum akhirnya dibuang menjadi pakan ternak dan bebek.
Sudah tepat kalau kampanye politik dibawa ke kampus-kampus agar diuji nalar pikiran lewat janji-janji bakal capres.